24. Terbang menuju Jannah

1.4K 101 8
                                    

________

Seandainya tidak bisa kembali lagi, aku harap kelak didik anakku dengan baik. Jadikan dia sosok imam yang akan di contoh banyak orang.

________

"Kopernya udah bang? Jaket Abang, terus sama obat alerginya udah?" tanya Andika.

Aidil mendekati Andika dan merangkul pundak adiknya. "Udah, gausah bawel deh."

"Bukannya bawel bang, biasanya juga aku yang nyiapin kan semenjak gak ada Mama," Andika melihat mata hitam Aidil.

"Kan sekarang Abang udah punya istri."

Andika menyeringai. "Tetep aja aku mau pastiin kalau Abang baik baik saja."

"Makasih ya," Aidil memeluk Andika sebentar. Kemudian beralih kepada Papanya.

"Pa, doain Aidil baik baik aja di sana. Doakan semuanya lancar," izin Aidil kemudian mencium punggung tangan Papanya.

"Insyaallah nak. Semuanya akan baik baik saja. Kamu jaga diri di sana, nantik kalau sudah sampai telpon papa atau Andika ya," pinta Bahtiar.

"Asiap Papa," Aidil mendekap Bahtiar dalam pelukannya beberapa menit.

Sampailah di tahap terakhir, yaitu Zahra istrinya yang sangat berat untuk ia tinggalkan. Kebetulan kedua orangtua Zahra tak bisa ikut mengantarkan karena di pesantren sedang ada acara.

Zahra menatap tajam sosok Aidil di hadapannya. Matanya berkaca kaca, bibirnya kelu tak lagi bisa berbicara apa apa. Kini, yang dia rasakan hanya keberatan hatinya untuk melepas suaminya itu.

"Minggu depan aja ya, hati aku gelisah ini," ujar Zahra.

Aidil tersenyum. "Insyaallah baik baik saja," satu tangan Aidil mengelus kepala Zahra yang kini di balut jilbab panjang berwarna hijau.

"Tapi."

"Kita punya Allah, jangan biasakan membawa firasat istriku. Allah tidak suka itu," ujar Aidil.

Zahra menuruti kata kata Aidil, memang salah jika kita percaya dengan hal hal semacam itu. "Astaghfirullah, aku hanya takut."

Aidil memegang pundak Zahra. "Aku ini jihad, demi keluarga insyaallah Allah selalu melindungiku."

"Tapi aku," Zahra menyeka air matanya yang tak tertahankan lagi ingin keluar.

"Sini," Aidil menarik Zahra ke dalam peluknya. Pelukan yang hangat, hingga Zahra bisa mencium bau parfum khas milik suaminya. "Apapun yang terjadi nanti aku ikhlas, berdoalah yang baik baik saja. Kelak bila aku tak bisa kembali lagi aku harap kamu bisa didik anak kita dengan baik ya."

"Hiks hiks," tangis Zahra semakin pecah, air matanya keluar begitu saja, bahkan kemeja yang di pakai Aidil cukup basah di buatnya. "Jangan ngomong gitu," Zahra memukul dada Aidil pelan.

Aidil tekekeh. "Tau takut, makanya gak usah mikir aneh aneh. Doain aku pulang dengan cepat dan selamat."

"Aku ini terbang menuju jannah. Bila kembali membawa kegembiraan untuk keluarga bila tak kembali tetap saja demi keluarga, untuk menafkahi kamu dan calon anak kita. Insyaallah keduanya demi surga Allah."

Tulang rusuk dokter Aidil (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang