Chapter 4: Her for Him

15K 1.2K 25
                                    

CHAPTER 5

Her, For Him

Mendapati hubungan manusia, bukan hal yang mudah untuk dimengerti. Logika mengatakan, kita bisa melakukan ini dan itu, sesuai dengan fakta yang terpapar, sesuai dengan ajaran yang dipelajari. Namun praktiknya, tidak semudah itu. Tidak semudah menata ruang menjadi lebih nyaman. Tidak semudah menanam tanaman yang tinggal disiram agar bisa tumbuh lebih indah.

Hubungan manusia tidak hanya hitam dan putih. Ada abu-abu, dan juga warna lainnya. Banyak faktor yang membuat kemungkinan terjadi tidak hanya satu, tapi bisa lebih dari sejuta.

Mainkan saja peranmu. Begitu Eyang Uti berpesan padaku sebelum kepulangannya ke Solo. Tak bisa dipungkiri, kehadiran Eyang Uti selama sebulan setelah pernikahan sederhana kami yang membuatku nyaman dan betah tinggal di rumah besar ini.

Eyang Uti yang meyakinkan kedua orangtua kami untuk merestui pernikahan kami waktu itu. Lamaran yang dibawa mas Ray bersama Eyang Uti, aku yakin, yang bisa membuat orangtuaku tak menjawab lain selain mengiyakan.

Pertemuan pertama dengan Eyang yang tak pernah bisa kulupakan. Pelukannya yang hangat, tatapannya yang lembut padaku, dan genggamannya yang empuk ditanganku, seakan menunjukkan betapa beliau seakan merindukanku sejak lama. Aneh memang. Karena aku merasa aku tak pernah sekalipun bertemu beliau sebelum itu.

Mbak Maya pernah cerita waktu kami masih kecil, kesan pertamanya dengan Eyang Uti menakutkan. Keluargaku dan keluarga mas Ray sudah saling mengenal sejak lama. Eyang Uti mungkin sudah seperti orangtua bagi papa dan mama. Bukan hal aneh mbak Maya sempat mengenal Eyang Uti juga. 

Mbak Maya juga pernah menyaksikan satu-satunya sesepuh kami itu begitu marah saat berbicara dengan papa dan mama. Entah apa penyebabnya, mbak Maya juga tidak tahu.

“Mama sampai cuman bisa misek-misek. Papa nunduk-nunduk takut banget! Aku ngintip ketakutan sama mas Ray dari balik pintu. Itu kayanya terakhir kalinya kita ke Solo ke ndalem-nya Eyang.”

Tapi yang jelas, keberadaan Eyang Uti memang membawa pengaruh besar. Baik papa dan mama, atau papa Ali dan mama Ratih, orangtua mas Ray, sangat patuh dengan apa yang dititahkan Eyang Uti. Sama sekali tidak ada bantahan. Sama sekali tidak ada penolakan. Mungkin memang begitu seharusnya bersikap pada orangtua, patuh.

Profil itu malah bertolak belakang sama sekali dengan apa yang kualami sendiri. Eyang Uti sangat memanjakanku. Aku seakan tak percaya dengan cerita menakutkan tentang Eyang.

“Padahal Eyang itu pingin kalian nikahnya yang meriah, gitu lho… jangan cuma akad nikah tok. Resepsi di gedung, ngundang relasinya papa mamamu, teman-temanmu. Masa kemarin yang datang Cuma segelintir tok? Tamune sak ipet. Kecewa Eyang ini, Nduk.”

“Mboten nopo-nopo, Eyang… pernikahan sederhana sudah cukup buat Naya sama Mas Ray. Eman biayanya kalau bikin macem-macem. Yang penting kan, sudah sah.”

Buat apa mengadakan pernikahan yang meriah, jika akhirnya nanti berpisah? Acara pernikahan sederhana ini permintaanku. Aku tak ingin memberi beban lebih pada papa dan mama lagi. Eyang memang tak setuju. Mas Ray tak mempermasalahkan, dia tahu aku. Tapi orangtua kami kurasa bersyukur tidak perlu menghabiskan dana lebih untuk pernikahan kami.

“Halah, anggitmu duite papamu itu kurang, opo? Sudah kewajiban mereka untuk membahagiakan kalian. Untuk terakhir kalinya. Setelah nikah kan, urusan duit ki tanggung jawabe bojomu. Kalau memang mereka ndak mau keluar uang, biar Eyang saja yang bikin acaranya.”

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang