Chapter 37: PENANTIAN

16.5K 1.1K 19
                                    

CHAPTER 37
PENANTIAN

“Dari mana saja kamu, Nduk?”

Suara hangat itu menyapaku begitu pintu utama rumah Eyang Uti kututup. Pertanyaan yang pantas kudapatkan, karena kealpaanku sendiri. Persis adzan maghrib kakiku baru menjejak pulang.

Padahal, aku berjanji pada Eyang tidak akan terlalu lama mengurus keperluanku di kantor penerbitan. Ini, malah seharian aku di luar.

“Naya habis nyekar tadi, Eyang.” Bohong.

Eyang memperhatikanku, pandangannya tertuju pada kedua tanganku yang kosong. Ransel yang berisi laptop Alina ada di punggungku, dan tak ada lagi selain itu yang kubawa. Apa kira-kira Eyang mempertanyakan paket yang dibawa Pak Sudin tadi pagi untukku?
“Sampai malam begini?”

“Tadi ada kepentingan lain juga sedikit. Maaf Naya lupa ngabarin.”

Eyang mengangguk pelan. “Bersihkan diri dulu sebelum ketemu anak-anak. Apalagi kamu habis dari makam. Biasanya ada yang ngikut kalau kamu nggak bersih-bersih.”

Kuturuti apa yang dipinta Eyang. Lagipula, badanku memang sudah lengket, berkeringat, dan kotor. Dengan mandi pasti bisa menyegarkan tubuh dan juga, pikiranku. Aku perlu berpikir jernih.

Agar aku bisa menyampaikan niatku dengan baik.

***

Aku ingin bercerai.

Itu yang kusampaikan kepada Eyang Uti. Perlahan, tapi sepertinya mampu membuat Eyang terusik. Padahal seharusnya pembahasan ini sudah lama terkubur. Hanya saja menunggu waktu dan kesempatan untuk bisa terwujud.

“Apa sudah kamu pikirkan benar-benar? Bercerai itu berat, Nduk...”

Tentu saja, pembicaraan ini kuutarakan ketika anak-anak sudah berada di peraduan. Aku sengaja menginap malam ini, karena ingin membicarakan persoalan ini dengan Eyang terlebih dahulu sebelum benar-benar mengurusnya.

Aku menghormati Eyang yang sudah begitu baik mengurusku yang bukan siapa-siapa ini.  Tak ingin membuatnya terkejut dengan tiba-tiba menyodorkan surat gugatan cerai ke hadapan cucunya tersayang.

“Naya tahu itu Eyang... Naya berpikir, malah lebih cepat akan jauh lebih baik, kan?”

Eyang menggenggam tanganku. Mengusapnya lembut. Aku tahu, segera urusan perceraian ini selesai, aku juga akan kehilangan satu-satunya sentuhan lembut yang kumiliki ini. Sentuhan tulus dan hangat.

“Bukankah ini sudah waktunya kamu bilang ke Eyang, penyebab kamu berpikir bercerai lebih baik? Kamu sudah ngga mencintai suamimu lagi?”

Tentu saja aku masih mencintainya. Masih, dan sangat. Bahkan perasaan ini tak bisa kubendung hingga membuatku sakit setiap kali pikiranku lebih menang saat berdebat dengan hatiku.

“Eyang... Eyang kan tahu Naya ini siapa. Berada dalam keluarga itu lebih lama tidak akan membuat segalanya terasa lebih baik.”

Akhirnya, untuk pertama kalinya aku membicarakan masalah ini kepada Eyang. Beliau juga berhak tahu, kurasa.

“Perasaanku tidak lebih baik daripada ketidakberadaanku, Eyang. Sudah terlalu lama Naya menyakiti mama. Dengan Naya hidup saja, sudah membuat mama terasa sesak.” Mataku yang mengembun berusaha keras kutahan.

“Mertuaku, orangtua Mas Ray, mereka juga pasti merasakan yang sama, kan? Bagaimana bisa mereka menerima punya menantu sepertiku?” Aku menghela tertahan.

“Aku pergi, itu sudah pilihan terbaik, Eyang. Kebencian mereka tidak akan terus berlarut-larut. Masa Eyang ndak kasihan sama anak menantu Eyang sendiri?”

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang