Chapter 25
Kayla
(Pov Rayyan)
Di hadapanku, gadis yang biasanya tersenyum cerah itu terlihat lebih banyak melamun. Musik yang mengalun pelan di Dempo mungkin bisa membawanya berangan-angan. Aku yakin ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
"Skripsimu udah mau selesai, kan?" tanyaku memecah lamunannya. Benar. Dia mengerjap seakan tersentak kembali ke dunia nyata.Kami tidak sedang berdua, ada dua temanku dan empat teman Kayla yang datang. Ramai. Hanya saja Kayla seperti tidak terpengaruh dengan keramaian di sekitarnya.
"Mas tanya apa?"
"Skripsimu. Udah selesai?" ulangku sembari menyeruput kopi hitamku dan melambungkan pandang ke tempat lain.
"Sudah mau beres. Tinggal revisi akhir, dan pengajuan sidang."
"Bagus. Kasih tahu kapan jadwalnya. Nanti aku datang."
Kayla menyunggingkan senyuman, setengah tertawa pelan. "Memangnya boleh? Selain mahasiswa, dan kerabat, kan ngga boleh ada yang ikut, Mas."
"Ya... nanti aku nyamar jadi kerabatmu. Atau, kalau perlu, ngaku jadi calon suamimu, biar dibolehkan nunggu depan ruang sidang."
Wajahnya tertunduk. Muka berkulit putih itu memerah, aku yakin dia tersipu. Bodohnya aku lupa, kami tidak sedang berdua. Teman-teman lain juga bisa mendengar ucapanku dengan jelas. Sontak saja, mereka langsung ramai menggoda kami berdua.
Aku tak keberatan. Aku memang tertarik padanya, dan orang-orang terdekat kami bisa melihatnya. Hanya saja aku tahu, Kayla bukan tipe gadis yang akan mau diajak berpacaran setelah dinyatakan cinta. Jadi aku memang menunggu, waktu yang tepat untuk bisa melamarnya.
Aku mengenalnya di akhir masa kuliahku. Dia junior, dan aku senior. Kami sama-sama aktif di himpunan mahasiswa. Ketika aku menjabat menjadi presiden mahasiswa, dia sempat menjadi salah satu anggotaku. Aku tahu, dia memiliki otak yang cerdas, pemikirannya tidak sempit walau dia hidup dengan norma agama dan adat timur yang kuat. Dan satu hal yang membuatku tertarik dengannya, dia bisa menjaga diri dari pergaulan teman-temannya yang sudah diluar batas, tanpa menjauhi mereka.
Naya mengenalnya dengan baik. Bahkan bisa kulihat, Naya yang pertama bertemu saat itu masih sekolah, begitu kagum dengan sosok Kayla yang dewasa dan baik padanya.
"Kapan, Mas?" Pernah beberapa hari yang lalu Naya membuntutiku, berkeliling di dapur café, menuntut jawaban.
"Kamu ngga usah kepo. Nanti juga tahu."
"Ih... aku kan pingin tahu! Nanti kalau lamaran, aku diajak ngga?"
"Ish, anak kecil. Pamali! Perawan ngga boleh ikut kalau lamaran. Nanti ngga laku!" godaku. Dan dia langsung menjulurkan lidahnya kesal.
"Rencananya sih, pas mau kemping ke Papuma nanti. Ngga ada anak perempuan yang ikut nginep di sana. Kamu ngga boleh ikut."
"Lha itu mbak Kayla?"
"Dia ngga akan nginep, paling Cuma bantu-bantu doang. Doain ya, Dek..."
Nayara mengamini. Aku tahu dia tulus mendoakan waktu itu, dan kuharap, memang jawabannya akan baik seperti yang kami harapkan.
Pertemuan kami di Dempo kali ini juga untuk membahas kemping minggu depan. Namun entah mengapa, ada terbersit pikiran yang mengangguku sedari tadi.
Nayara dengan tangisannya yang selalu kubenci. Dan juga wajah mendung yang kerap kudapati diam-diam dari Kayla sore ini.
***
Aku tahu, ini klise, dan tak pantas dilakukan.
Tak seharusnya aku mendahului para tetua, tanpa izin, melamar gadis yang siang malam menganggu hatiku. Hanya saja, aku ingin kepastian juga darinya sebelum aku melangkah lebih jauh.
Seharusnya dia tidak terkejut, seharusnya dia juga bisa membalas perasaanku. Aku tahu dengan pasti, dia juga menaruh hati padaku.
Tapi yang kudapat, bukan kepastian, dia malah membisu.
"Kay..." panggilku di tengah deburan ombak yang memecah karang di ujung pantai. "Aku ngga minta jawaban sekarang, kok. Toh, ngga mungkin nikah sekarang juga. Kamu selesaikan sidangmu dan lainnya. Kamu pulang, sampaikan pada orangtuamu."
Kayla masih membisu dan menunduk dalam. Benarkah dia sama sekali tidak mengira aku melamarnya? Kenapa bukan rona bahagia? Kenapa malah mendung yang kulihat?
"Kayla? Kamu baik-baik aja, kan?"
Dia mengusap wajahnya sebelum memberanikan diri melihatku.
"Kay. Pembicaraan ini... bukannya udah sering kita bahas ya? Kenapa kamu jadi gini, sih?"
"Aku Cuma ngga nyangka aja, Mas Ray benar-benar serius."
"Memangnya kamu pikir aku main-main selama ini? Hey, Kayla... kita berdua tahu, kita sudah sama-sama dewasa, ngga ada ruang buat mainin hati. Aku tahu, kamu bukan tipe gadis yang suka pacaran, dan aku sama sekali ngga berniat merusak itu. Makanya aku serius. Aku tidak sekedar meminta kamu jadi pacarku. Mari menikah saja."
Aku tahu aku tak bisa mendapat jawaban itu sekarang. Kupersilahkan dia berpikir dan merenungkan permintaanku. Setengah berharap dia bisa menerimaku, aku pun juga sadar, bahwa bisa saja dia menolakku.
Aku menunggu.
Lama.
Dan ternyata tanpa kabar.
Kayla, gadis yang selama beberapa tahun merajai hatiku, tiba-tiba menghilang, tanpa memberiku jawaban pasti. Aku ingin memakinya, tapi aku juga tahu dia pasti memiliki alasan. Hanya saja dia tak mengijinkanku memahami alasan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...