Chapter 20
Kenyataan LainAku ingin tuli.
Permintaanku sepertinya bukan hal yang biasa. Bagaikan orang yang tak bisa bersyukur, ingin meninggalkan nikmat sehat yang dengan mudah Allah berikan secara Cuma-Cuma.
Aku juga ingin mati rasa.
Tak merasakan lagi apa yang namanya sakit. Dan hati ini juga agar tidak begitu lelahnya melampaui semua.
Pertanyaanku terjawab, semuanya. Dalam satu malam. Pertanyaan yang membungkam pikiran dan hatiku, mengantisipasi apapun jawabannya. Namun rahasia terakhir itu, rasanya aku hampir tidak bisa menampungnya.
Biar kucerna satu persatu apa yang kudengar dari ruangan itu.
"Kalau kamu tidak minta Eyang turun tangan juga Mama tidak akan pernah mau berurusan dengan dia!"
"Eyang turun tangan karena kalian mengancamku bakal mencoretku dari keluarga ini kalau aku tidak segera menikah. Katakan, Ma, aku harus apa? Wanita pilihanku kalian tolak. Papa dan Mama beri Rayyan pilihan perempuan-perempuan tidak jelas! Nayara satu-satunya yang bisa memahamiku! Satu-satunya perempuan yang bisa berjalan denganku. Bukan perempuan yang kalian pilih yang aku yakin hanya akan melihat harta Papa dan Mama saja begitu mendapatkanku. Aku nggak mau warisan, Pa, Ma... Rayyan cuma mau tetap kalian anggap sebagai anak. Itu saja!"
Mas Ray menikahiku bukan karena melihat diriku. Tapi lebih karena dia tak punya pilihan lain. Dia menikahiku karena punya alasan khusus. Dugaanku benar. Pernikahan ini terpaksa dilakukan. Pantas saja. Pantas saja...
Telingaku mendengung sakit, nyaring terdengar bagai resonansi yang tak berhenti berbunyi. Kupejamkan kedua netraku berharap resonansi maya itu berhenti.
"Memangnya kenapa kalau Nayyara bukan anak kandung Mama Inez?"
Namun kalimat itu sanggup menyentak kedua mataku untuk terbuka lebar. Aku terlalu takut mendengar dari keseluruhan kalimat itu, sehingga memaksa kedua kakiku segera beranjak dari depan pintu ruangan itu.
Aku ternyata, memang bukan anak dari orangtuaku.
"Orangtuanya masih jelas. Eyang Uti juga jelas menyayanginya. Rayyan nggak habis pikir kenapa Mama bisa sekejam itu memperlakukan Naya. Cukup Mama Inez saja. Rayyan nggak mau Mama juga jadi kejam seperti itu."
Bisa kurasakan, kebencian nyata Mama padaku terasa masuk akal. Barangkali, aku ini memang bukan anak yang ingin dirawatnya. Pantas saja tadi mama Ratih mengatakan jarak kehamilan Mamaku sampai delapan tahun. Karena aku bukan anak Mama. Lalu aku anak siapa? Anak dari perempuan lain?
Mungkinkah selingkuhan Papa?
"Naya."
Lamunanku tersentak dengan suara yang tiba-tiba datang. Mas Ray berdiri di depan pintu kamar dengan wajah ditekuk lesu. Danial ada di gendongannya.
"Kamu ngapain?"
Baru sadar, aku duduk di tepi ranjang dengan kaku dan tegang tanpa bersandar. Kedua tangan tergenggam masih berada di atas kedua pangkuanku. Kalau orang lain yang melihat, mungkin aku sekaku robot. Bahkan Mas Ray menatapku keheranan.
"Wanita pilihanku kalian tolak. Papa dan Mama beri Rayyan pilihan perempuan-perempuan tidak jelas! Nayara satu-satunya yang bisa memahamiku! Satu-satunya perempuan yang bisa berjalan denganku."
Terngiang kembali apa yang kudengar begitu melihat Mas Ray mendekatiku. Memikirkannya tanganku bergetar, meraba perutku yang sama sekali belum terlihat. Namun sungguh ada janin di dalamnya. Pernikahan yang terpaksa harus ada ini, bagaimana mungkin dia membiarkanku hamil sampai dua kali?
"Kamu kenapa?"
Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Namun mulutku terkunci rapat. Lelaki ini mengetahui segalanya, tapi dia juga memilih untuk bungkam.
"Kita gugurkan aja, gimana?" suaraku bergetar pelan.
Bisa kulihat pandangan Mas Ray berkilat menatapku. Terkejut, mungkin juga tak percaya dengan apa yang kukatakan. Padahal saat kukabarkan tentang kehamilan kedua ini, rasanya tidak ada beban walaupun aku tahu mertuaku mungkin tidak menyetujuinya. Aku bahagia, kemarin, dengan kehamilan ini.
Tapi, kini terasa sangat tidak masuk akal untuk mempertahankan janin ini.
"Kamu ngomong apa, sih? Jangan terpengaruh apa yang dikatakan Mama tadi..."
"Bisa kita pulang aja sekarang?" potongku seraya langsung beranjak cepat.
Tanpa menunggu jawaban Mas Ray yang mengiyakan permintaanku, segera kuambil tas besar bawaan yang seharusnya kami pakai untuk menginap malam ini. Kuraih Danial dari gendongan dan langsung berlalu melewati lelaki yang berdiri tertegun dengan sikapku yang impulsive.
***
Sejak malam itu, aku jadi lebih banyak diam dan menghabiskan tangisanku di kamar mandi dengan air keran menyala deras. Saat aku sedang sendiri, rasanya tak sanggup untuk menahan sesak di dada ini.
Menghadapi kenyataan atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berada di otakku, ternyata tidak baik juga. Ternyata aku tak sanggup mengetahui semuanya. Apalagi aku lebih sensitive, jauh lebih perasa karena kehamilan ini. Lebih mudah tersinggung.
Aku ingin marah, tapi tak bisa. Aku ingin mengomel, tapi rasanya percuma. Aku ingin berteriak. Ah... lucu. Itu sangat tidak mungkin.
Aku tertekan. Mulutku bungkam, tapi hatiku bergejolak.
Mama Ratih semakin sering mampir ke rumah. Mengecek setiap kesalahan apa yang tidak berkenan di hatinya. Datang ketika Mas Ray tidak di rumah. Mengatakan hal-hal yang semakin bisa menyakitiku.
Rasanya ingin sekali kubalas perkataannya satu kali saja, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Aku takut durhaka. Aku diam tak bicara saja, mams bisa marah padaku. Apalagi jika aku membantah.
Malam minggu semakin seperti neraka. Jadwal kami menginap di rumah oramgtua mas Ray. tetap harus kami lakukan. Dulu aku ikhlas saja melakukannya, tapi semenjak malam itu, kewajiban menginap itu menjadi beban bagiku.
Bukan sekali dua kali aku mendengar Danial dibanding-bandingkan dengan Langit. Tumbuh kembang Danial dianggap kurang sempurna. Dia tidak tinggi, dan tidak gembul seperti Langit. Tapi anakku anak yang sehat, dan lincah. Tak pernah ada yang salah dan tidak ada keluhan berlebih ketika kubawa dia ke dokter anak untuk diperiksa tumbuh kembangnya atas perintah Ibu.
"Kamu aja sih, Mbak, yang nggak bisa ngerawat anak. Makanya, kasih susu yang mahal, makan makanan yang bergizi! Tapi mana sanggup sih, ya... Mas Rayyan palingan dapat berapa sih dari hasil dia bikin warung makan begitu?"
Sungguh, jika tidak ingat dia adik ipar mas Ray, sudah kurobek bibirnya. Aku masih bisa memakluminya karena dia adalah menantu kesayangan mama. Menantu sempurna bagi mama.
Persetan.
Aku tidak sanggup lagi!
Bahkan mendengar tangisan Danial kini tidak lagi menghadirkan rasa iba di hatiku.
"Diam!!! Jangan nangis terus! Ibu pukul kamu nanti!"
Dan tamparan tanganku kadang mampir pula di pantat dan kaki lelaki kecil itu saat aku kehilangan kesabaran. Bahkan terkadang ada dorongan ingin menampar mulutnya agar diam tak menangis lagi.
Aku benci, gara-gara dua anak ini, aku terikat tak bisa lari.
Lelaki kecilku berhenti menangis, dengan sisa isakan tertahan. Dia ketakutan, tapi tak berani beranjak jauh dariku karena dia masih membutuhkanku.
Menyadarinya, aku lunglai.
Aku tak bisa terus seperti ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...