Chapter 24
Tentang Kamu
(Pov Rayyan)
Dia menangis lagi.
Melihatnya diam tak bersuara, tapi pipi dan matanya begitu basah selalu saja membuatku merasa payah. Dia menangis, tapi tak pernah mengeluarkan suara menyatakan kesedihannya. Bahkan terisak pun tidak. Dia hanya diam di sana, mematung tanpa protes menyaksikan ibunya penuh murka membakar semua karya masterpiece miliknya. Begitu ibunya masuk kembali ke dalam rumah beruntun dengan omelan yang seakan tak berhenti, barulah dia berani bereaksi. Terisak diam-diam. Mungkin menyesali tulisan-tulisan yang dia ciptakan kini berubah jadi abu.
Ah, lebih baik kuurungkan niatku mencari bapak gadis itu. Aku tak tega melihatnya nangis sedangkan aku tak bisa berbuat apapun. Aku hanya mampu bersembunyi di balik dinding samping rumahnya yang menyambung dari teras depan ke halaman belakang. Lebih baik kucarikan cara lain, agar dia bisa leluasa menulis lagi. Tanpa harus terbebani dengan omelan ibunya itu.
Lagipula, apa salahnya sih menulis? Dia hanya sedang menulis cerita. Kenapa dipermasalahkan sampai dibakar seperti itu? Toh, sekolahnya tidak pernah terganggu. Nayyara selalu patuh dengan tugasnya. Aku tahu, karena setiap tahunnya aku yang bertugas mengambil rapornya. Aku juga yang setiap semester menemaninya mengambil lembaran IPK di gedung administrasi.
Getaran notifikasi SMS dari ponselku mengusik perhatianku. Aku harus meninggalkan rumah ini tanpa sepengetahuannya, atau dia bakal malu ketahuan menangis di depanku.
[Otw belum? Udah ngumpul semua nih di DEMPO. Pujaanmu datang juga bareng temennya]
Pesan singkat dari Niko menyunggingkan senyumku. Kayla. Aku tahu dia tak akan pernah datang sendirian, karena itu aku mengajak ketemuan ramai-ramai dengan temanku dan juga temannya. Yang penting aku bisa bertemu dengannya. Itu sudah cukup.
Terakhir kali aku mengintip Nayara dari balik dinding, air matanya sudah mengering. Mungkin dia sudah lelah. Kukirim pesan untuknya.
[Dek, nanti malam bisa ke café? Pamit mama biar dibolehin.]
Kulihat dia hanya membuka pesanku, menghela sebentar, dan langsung menyimpan kembali ponselnya.
Dia tak membalasnya.
[Ada yang mau kutitipkan buat papamu, aku ngga bisa ke sana. Kamu yang ambil, ya?]
Aku tahu, aku hanya beralasan. Aku bukan tak bisa ke rumahnya. Bahkan aku sekarang berdiri di halaman yang sama dengannya. Tapi setidaknya, aku juga memberinya alasan untuk bisa keluar rumah.
[ok.]
Begitu mendapatkan kepastian, aku segera cabut. Tak mau dia melihatku.
Dari Dempo nanti aku berniat ke toko komputer. Kurasa, aku bisa memberikan sebuah notebook kecil untuk dipakainya. Aku tak akan bilang itu notebook baru, atau dia akan menolaknya. Sedangkan untuk mesin printer, kurasa dia bisa memakai yang ada di ruang kerjaku di café. Dalih sebagai bantuan dia mengerjakan tugas kuliahnya nanti, kupastikan dia bisa menggunakannya bahkan untuk menulis cerita dongengnya. Dia pasti tak akan keberatan. Kalau kukatakan aku memang membelikan benda-benda itu untuknya, aku tahu betul, dia tak akan pernah mau.
***
"Yaopo, Le?"
Aku bisa mendengar desahan Eyang Uti yang setengah putus asa walau hanya dari seberang telepon.
"Masih tetep, Eyang... Rayyan khawatir keadaan dia malah semakin memburuk."
"Piye maksudmu?"
"Kenapa Eyang ndak ambil dia dari dulu saja, sih?" protesku sedikit emosi.
"Eyang mau orangtuanya bisa tanggung jawab. Ndak lepas tangan atas kesalahan mereka di masa lalu. Prasamu opo Eyang ndak kepikiran terus selama ini? Eyang ndak pernah bisa melihat keadaan dia dari kecil. Wongtuane selalu nggawe alasan macem-macem untuk tidak mempertemukan Eyang dengannya."
Aku bisa maklum. Eyang sendiri sudah sepuh. Tentu saja, orangtua Nayara tidak akan membiarkan Eyang kepikiran dengan pengakuan mereka yang tidak memperlakukan Naya dengan baik. Memangnya mereka cukup berani?
"Jogoen adekmu, Le..."
"Ndak usah disuruh juga Rayyan jaga, Eyang... cuman... masalahnya gimana nanti kalau Rayyan sudah nikah?"
Sampai aku menutup panggilan dengan Eyang Uti, pertanyaan itu tak bisa terjawab. Kepalaku sudah cukup pening memikirkannya. Tertunduk kepalaku di atas kemudi mobil. Dari tempat parkir, aku bisa melihat Naya yang hilir mudik sedang memilih barang di minimarket. Dia baru pulang kuliah maghrib tadi, dan minta aku menjemputnya. Aku sadar tak bisa selamanya melindungi Nayyara. Dia bukan anak kecil lagi, tanganku terbatas untuk bisa merengkuhnya dalam jangkauanku seperti saat dulu.
Setidaknya, aku ingin membuatnya terbiasa untuk menjaga dirinya tanpa harus bergantung pada orang lain.
Lamunanku buyar saat kaca jendela di sampingku terketuk pelan. Kuangkat kepalaku dan menemukan Naya yang memberi isyarat memintaku membuka pintu mobil.
"Kok dikunci, sih?"
"Ngga sengaja, kepencet," dustaku. Padahal aku sengaja menguncinya karena tak mau ketika aku menerima panggilan dari Eyang, gadis yang duduk di sampingku ini tiba-tiba masuk.
"Aku tadi lihat dari dalam, mas Ray nerima telpon serius banget. Ada kabar dari mbak Kay?"
Aku menoleh. Benar, aku menerima telpon, tapi sayangnya bukan kabar Kayla. Gadis yang disebut Nayyara itu juga yang menjadi pikiranku beberapa hari ini.
"Udah dapat jawaban?" tanyanya lagi karena mungkin tak urung juga mendapat tanggapan dariku.
"Ngga ada," jawabku singkat. "Kamu mau langsung pulang?" kualihkan pertanyaan.
"Mas Ray udah tutup belum?"
Dari pertanyaan itu aku juga tahu, dia pasti enggan langsung pulang ke rumah. Kuambil ponselku dan menghubungi sederet nomer. "Halo Tante? Ini Naya baru pulang dari kampus, mau ke tempatku dulu. Angkot udah sepi kayanya jam segini. Nanti biar Ray saja yang anter pulang."
Senyuman Naya merekah mendengar sambungan teleponku.
"Puas?" tanyaku sesaat setelah telepon kuakhiri.
"Siip...."
Aku suka melihat dia tersenyum seperti ini daripada menyembunyikan tangisnya. Walaupun pada akhirnya aku harus menanggapi celotehan keingintahuannya yang tak mau berhenti.
Sama seperti Naya, aku pun ingin tahu sebenarnya. Aku sedang menunggu jawaban, atas lamaranku seminggu yang lalu.
Yah. Pinangan telah kuberikan pada seorang gadis yang sudah mengusik hidupku, membuat hatiku jungkir balik menahan rindu. Namun kabar jawaban yang kutunggu masih juga enggan terbaca. Aku tahu, Kayla masih sibuk dengan sidang dan momen akhir kuliahnya. Aku tak mau menganggunya berpikir. Setidaknya, aku memberikannya waktu untuk mempertimbangkan lamaranku.
Kalau aku sudah menikah nanti, bisakah pikiranku terpecah? Nayyara bukan adik kandungku. Aku khawatir, akan terjadi hal yang tak diinginkan ketika aku sudah berumah tangga, dan masih juga mengurus Naya. Apa anak ini akan menjauh dariku? Apa aku tega?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
Roman d'amourNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...