Chapter 6: Bukan Urusanku!

12.2K 1.1K 42
                                    

CHAPTER 6

Bukan Urusanku!

“Itu bukan urusanku!”

Andai saja berteriak sekuat tenaga seperti itu bisa dengan mudah dilakukan, tentu segalanya tidak akan serumit ini. Lepas dari kandang buaya masuk ke kandang macan. Seharusnya, dari awal aku sudah memperkirakan, keluar dari rumah papa dan masuk ke dalam keluarga ini, sama saja dengan bohong. Tidak ada bedanya.

Ya Tuhan, apa sih memangnya yang dulu kupikirkan, sampai begitu saja menyetujui ide pernikahan ini?

Did I say, I love to see your smile?

Pertanyaan itu hanya sanggup kubalas dengan helaan panjang yang kuyakin bahkan mungkin tidak akan disadarinya. Kedua mata pemilik tanya itu tak lepas dari gawai yang digenggamnya. Sibuk mengetik entah apa di dalamnya. Ini sudah malam, dan dia masih saja sibuk dengan kerjaannya. Mungkin. Aku sedang lelah tak mau tahu.

Lelah, dengan kecamuk perasaan dan pikiranku sendiri. Bukan karena aku saat ini sedang sibuk memasukkan pakaian yang sudah digosok ke dalam lemari. Kurasa dia juga tidak akan begitu peduli. Mana tahu mas Ray tentang segala komplain mama Ratih padaku? 

Bukan hanya tentang kopi saja, tapi juga tentang bagaimana aku menata kamar kami, satu-satunya wilayah pribadiku di rumah ini. Juga tentang aku yang menurutnya tak pandai meladeni mas Ray, tentang aku yang tak bisa masak sama sekali, tak pernah sekalipun masuk ke dapur walau hanya sekedar membuat kudapan untuk kusuguhkan ke mas Ray sepulang kerja. Mama Ratih juga tak begitu menyukaiku yang sibuk di kamar mengerjakan skripsi. Menurutnya, lebih baik kuliahku kutinggalkan saja, toh aku sudah menikah, tidak membutuhkan titel apapun untuk menjadi ibu rumah tangga. Mama akan membandingkan gaya berpakaianku dengan menantu kesayangannya. Ella selalu terlihat modis, stylish, dan cantik dengan perawatan mahalnya. Sedangkan aku, bahkan tidak mencerminkan menantu keluarga Ali saking mbambes-nya.

Dan aku harus memakan pahit itu semua karena aku adalah istri dari Rayyan Alfatih.

“Padahal, senyum itu kan sama saja dengan sedekah lho. Apalagi kalo senyumnya sama suami, pahalanya gede!”

Aku melirik kesal. Kusudahi kegiatanku. Bibirku terkatup rapat, tak pernah bisa sebilah katapun keluar untuk mengeluh di sini. Aku harus menahannya. Harus bersabar. Bisa-bisanya dia ceramah tentang senyuman, sedangkan pandangan matanya sendiri sibuk dengan gawai di genggaman. Toh, dia tidak akan repot-repot melihat aku tersenyum atau tidak. Memangnya aku harus tersenyum terus-terusan demi menyenangkan matanya yang entah kapan beralih ke arahku?

“Pusing sama skripsi, ya? Dosenmu gimana? Pak Yudis, kan?”

“Iya, lagi pusing sama skripsi,” dustaku. Memangnya bisa aku berani jujur kalau keenggananku saat ini berhubungan dengan sikap ibunya terhadapku? “Ya… gitulah, Pak Yudis. Tau sendiri.”

Sejurus kemudian, muncul ide konyol di otakku. Mungkin ngga ya, dengan cara seperti ini aku bisa menghindar sejenak?

“Mas, kalau misal aku nginep di kosan Alina, boleh ngga? Alina pegang buku buat bahan materi skripsiku, aku pingin pinjam tapi dia sendiri juga pake. Enakan kalau aku nginep disana, kan? Jadi bisa pake barengan.”

Untuk pertama kalinya, pandangannya beralih dari gawai yang sedari tadi memonopoli. Keningnya berkerut melihatku yang duduk disampingnya. Tapi hanya sebentar saja. Bunyi tring notifikasi whatsapp berhasil menguasainya lagi.

“Ngga bisa beli sendiri ta, bukunya?”

“Itu dia dapat nitip teman yang short course di Inggris semester lalu. Di sini ngga ada yang jual.”

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang