Chapter 28: Keputusan Besar

15.5K 1.1K 17
                                    

Chapter 28
Keputusan Besar

"Babe,"

Ketukan pelan di pintu kamar kuharap tak mengusik dua kesayanganku yang sedang pulas ke alam mimpi. Sudah semingguan ini mereka berdua tak begitu nyenyak menikmati tidurnya. Rewel bergantian, bahkan hampir membuatku kehilangan tenaga. Ah, mungkin mereka merasakan kegelisahan yang sedang menggelayuti hatiku.

Pelan-pelan aku beringsut membuka pintu. Wajah Alina menyapaku sembari mengangkat piring yang penuh dengan nasi dan lauknya.

"Makan malam dulu. Ngga baik busui menahan lapar terlalu lama. Kasihan bayimu."

Aku tersenyum, tanpa membantah menerima apa yang disodorkannya padaku.

"Udah tidur, mereka?"

"Udah. Belum ada setengah jam tapi. Semoga aja bisa bertahan sampai pagi. Kasihan, mereka pasti lelah menangis terus."

Alina menghela napas yang terdengar berat di telingaku.

"Aku tahu, wes ojok protes. Aku sendiri juga sedang berusaha untuk menenangkan diri," ujarku seakan tahu apa yang akan dipikirkannya.

"Aku ngga bilang apa-apa, kok," kilahnya.

"Karena aku tahu apa yang akan kamu katakan." Dia pasti akan mengomeliku, bahwa anak-anak rewel karena ibunya tidak tenang. Ada setrumnya. Menyambung. Ikatan ibu dan anak begitu kuat, sehingga ketika ibu merasakan sedih, anak juga bisa merasakannya.
Alina memelukku dan menggangguku menikmati makan malamku.

"Lin.... Tumpaaah...," protesku.

"Biarin, nanti kalau kurang kuambilin lagi. Aku masak banyak tadi. Aku cuma pingin meluk sahabatku, biar energi bahagiaku bisa nyetrum!"

Aku menahan tawaku. Tak ingin tertawa keras, karena khawatir akan terdengar sampai kamar.

Keputusan tepat, mungkin, bertemu lagi dengan Alina. Aku sangat merindukannya, setelah sekian tahun tak pernah lagi ketemu. Dia yang selalu bisa menerimaku tanpa syarat, dan selalu membuatku tersenyum.

Aku teringat beberapa bulan yang lalu, ketika aku termanggu di terminal Arjosari. Dengan perut besar, Danial di gendonganku, dan tas berisi keperluan Danial dan sedikit milikku. Hanya membawa ponsel yang kumatikan, dan dompet dengan isi yang tak seberapa.

Keputusan yang kupikir tepat, namun juga membuatku kebingungan. Aku pergi dari rumah, demi kebahagiaan semua, hanya saja aku tak tahu harus kemana melangkah.

Aku yang tak punya tujuan pasti, masih sangat syok ketika melihat sedan hitam berhenti di depanku. Aku mengenal pemiliknya yang turun dari pintu belakang penumpang, Eyang Uti.

"Eyang ndak akan memintamu pulang sekarang. Tapi Eyang mohon, ikut sama Eyang ya sekarang?" bujuk Eyang seraya mengelus pergelangan tanganku.

Membujukku, dengan segala kehangatan. Entah bagaimana bisa beliau menemukanku. Seakan tahu, apa yang terjadi padaku.

Eyang tidak menanyakan kenapa aku pergi, saat itu. Namun Eyang tidak mengingkari janjinya. Eyang tidak membawaku ke rumah besar di mana anak laki-lakinya tinggal. Tidak ke rumah orangtuaku. Tidak pula ke rumah cucu kesayangannya, suamiku.

Eyang membawaku ke Solo, menuruti permintaanku untuk tidak memberitahu mas Ray apalagi sampai membuat dia menjemputmu. Eyang Uti menampung kami hingga aku melahirkan anak kedua. Aku tak bisa menolak, mungkin juga tak tahu malu. Namun Eyang dengan segala kebaikannya membuatku menurutinya.

Sampai saat Alina muncul di depanku dengan mata yang berkaca-kaca tak bisa menahan tangis. Dia, sahabatku, datang dengan segudang protes di bibirnya.

"Kalau bukan Eyang yang bilang, aku ngga akan pernah tahu keadaan kamu sekarang. Kamu anggap apa aku, Nay? Sampai sahabat sendiri terluka aku ngga pernah mengetahuinya."

Aku masih bersyukur Eyang tak membuat mas Ray menemuiku sekala itu. Dalihku, ingin menenangkan diri dan butuh waktu berpikir tentang bagaimana memperbaiki rumah tanggaku dengan cucunya. Padahal, aku sama sekali tak berniat kembali. Aku tak pernah menjelaskan secara detil apa yang menimpa kami, tapi syukurlah Eyang tak memaksaku bicara lebih banyak.

Eyang Uti mengijinkanku tinggal dengan Alina. Aku tak ingin lagi merepotkan Eyang terlalu lama. Aku malu, sudah menorehkan jelaga di keluarga Eyang. Malu, perempuan yang tak tahu diri ini malah menampung hidup kepadanya, sedangkan cucu kesayangannya kutinggalkan. Namun Eyang mengijinkanku dengan syarat, aku tak boleh memutuskan hubungan dengan beliau dan menghilang seperti apa yang pernah kurencanakan sebelum bertemu Eyang Uti.

"Nay, Aku pingin tanya."

"Tanya apa, Lin?"

"Kalau seandainya kamu waktu itu ngga ketemu Eyang Uti, kamu mau kemana?"

Pertanyaan itu menyisakan helaan berat di relungku. Aku sendiri tak tahu apa rencanaku. Yang kupikirkan saat itu adalah aku ingin segera pergi dari sisi mas Ray sehingga dia bisa segera kembali pada Kayla.

"Hubungin kamu," jawabku sambil meringis. Aku hanya menjawab asal. Aku hanya tak mau mengakui bahwa aku tak punya tujuan, dan sekaligus tak ingin dia khawatir.
"Mungkin aku pingin ngerepotin kamu sebentar, sembari mencari pekerjaan. Kalau aku sudah dapat kerja, kan aku bisa cari tempat tinggal dan bisa biayain buat hidupku dan anak-anak."

"Duh, itu lagi. Kan aku udah bilang ngga usah. Oke aku setuju kamu cari kerja. Tapi aku ngga mau kamu pindah dari sini."

"Tapi ini kan apartemen orangtuamu, Lin... Aku ngga enak."

"Apartemen papa yang udah jadi milikku. Jadi ini sudah jadi hakku ngijinin kamu tinggal bersamaku di sini."

Aku tersenyum masam. Merepotkan orang lain, seharusnya menjadi pilihan terakhirku. Tapi nyatanya aku tak pernah tidak merepotkan. Baiklah, mungkin untuk sementara ini aku menurutinya. Sementara.

"Rencanamu sekarang, gimana? Anak-anak masih kecil. Balita dan bayi. Masak mau dititipkan?"

Daguku terangkat sekilas menunjuk arah pada meja makan di belakang kami. Ada laptop Alina yang teronggok di sana. "Aku boleh pinjam laptopmu?"

Kening Alina berkerut, walau akhirnya ia mengangguk pelan. "Buat apa memang?"

"Aku punya naskah yang terbengkalai, dan kebetulan beberapa waktu yang lalu aku sempat  ditawari untuk menerbitkan tulisanku. Aku lama tidak bisa memberikan kepastian karena... Yah... Kamu tahu sendiri kemarin aku gimana. Tapi tadi pihak penerbitan menghubungiku lagi. Kurasa sekarang aku sudah siap untuk menyelesaikannya. Aku mau nulis lagi."

Kedua bola mata Alina membulat, dan menatapku seakan tak percaya. "Serius?"

Aku mengangguk. "Penawaran mereka bagus. Setidaknya, untuk sementara ini, aku masih bisa menghasilkan uang tanpa harus meninggalkan anak-anak."

Alina memelukku lagi. Aku tahu dia turut senang. Selain mas Ray, Alina satu-satunya orang yang tahu betapa sukanya aku menulis.

Walaupun dulunya aku tak pernah percaya diri untuk membuat cerita rekaanku dibaca orang lain, tapi bergabung di beberapa komunitas menulis sedikit memberi dorongan untukku. Cerita lama yang kuunggah di sana, menarik banyak pembaca, dan akhirnya mengundang penerbit untuk meminang naskahku.

"Lalu mas Ray gimana, Nay?"

"Perceraian juga butuh duit kan, Lin?" Aku tersenyum kecut. "Aku akan mengumpulkan juga uang untuk mengajukan gugatan perceraian untuknya."

Alina menghela pelan. Dia sepertinya tak tahu, bagaimana lagi membujukku untuk kembali pada suamiku.

***

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang