Chapter 22
Aku PergiAku setuju, pada akhirnya, atas ajakan untuk makan malam berdua saja dengan Mas Ray. Dia terlihat senang, entah karena apa. Mungkin dia sudah tidak sabar untuk membicarakan sesuatu yang penting itu padaku.
Mbak Maya sama sekali tak keberatan saat kami menitipkan Danial padanya. Hitung-hitung latihan kalau punya anak sendiri, katanya. Untung saja Danial juga sudah sangat dekat dengan Mbak Maya dan Mas Dewa.
Dan di sinilah kami berdua, di tempat yang belum pernah kusinggahi sebelumnya. Sebuah restoran jepang di Mall terbesar di kota Malang. Aku tak ingat, apakah mas Ray pernah bercerita pernah mengajak Kayla kesini juga. Kalau pernah, haaah… aku tak tahu lagi harus menyebut diriku ini apa. Merana sekali rasanya tidak memiliki tempat yang khusus untuk menjadi kenangan kami sendiri tanpa ada Kayla di dalamnya.
Diam-diam aku geram pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku kesal pada perempuan malang itu. Nasibnya sekarang sedang tidak baik, dan aku malah merutuki nasibku sendiri yang tak punya tempat romantis sendiri.
Lagipula kalau dipikir lagi, Mas Ray tidak mungkin pernah mengajak Kayla kesini. Saat mereka masih bersama, Mall ini belum dibangun.
Mas Ray memesan makanan yang tidak pernah kumakan sebelumnya. Dia bercerita, sebelumnya pernah ke tempat ini saat teman-temannya yang dari Jakarta itu datang. Teman-teman dari coaching bisnis marketingnya.
“Makanya, kalau ada kesempatan pingin banget bisa ngajak kamu kesini,” ujarnya sambil menyumpit salah satu jenis sushi ke atas piringku, “Cobain, deh. Ini yang paling enak.” Entah apa namanya aku tak tahu.
“Kenapa sekarang?” tanyaku seraya memaksa menelan sushi pilihan Mas Ray. Aku tak begitu suka rasanya. Asam. Bergelenyar aneh di lidahku. Tapi aku tak boleh menunjukkannya. Mas Ray sudah berusaha membuatku senang.
“Coba yang ini dulu, pake yang warnanya ijo itu, tapi jangan banyak-banyak,” dia menunjuk bumbu basah berwarna hijau di mangkuk kecil. Aku tahu namanya, washabi, kalau tidak salah ingat, mungkin sejenis jahe, rasanya sagat pedas.
Mas Ray begitu antusias menunjukkan satu persatu menu yang dipesannya. Tapi entah kenapa, aku sama sekali tak berselera. Semua menu itu tak cocok di lidahku. Bahkan tehnya terasa pahit di lidahku. Apanya yang enak? Masih lebih enak soto ayam di warung ujung jalan komplek.
Tapi tak mungkin aku mengatakan ini semua tak enak, atau mas Ray akan kecewa. Dia terlihat begitu senang. Aku tak mau mengecewakannya. Aku hanya tersenyum menerima saja apa yang diberikannya.
“Jadi,” ujarku seraya menghabiskan suapan terakhirku, “apa yang mau diomongin?”
Mas Ray tersenyum, menghela pelan, terlihat ragu mendengar pertanyaanku.
Sebenarnya aku tahu, perihal apa yang ingin dibicarakan oleh mas Ray. Tapi aku tak mau menduga-duga. Ini kesempatanku, untuk mendengar secara langsung apa yang ada di hati suamiku. Aku akan mendengarnya baik-baik, dengan sabar.
“Kamu ingat, kan, mama dan papa pernah menyinggung tentang penghasilanku? Kamu tahu betul, apa yang mereka nilai sama sekali tidak benar. Kalau saja mereka tahu, jumlah rupiah yang ada direkening tabunganku sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Kalau mau, aku bisa membeli rumah yang lebih besar, atau mobil yang lebih mewah dari yang kita miliki sekarang.”
“Tapi, aku nggak mau,” potongku.
“Benar, kamu nggak mau. Aku pun tidak. Karena kupikir, buat apa kita bermewah-mewah kalau yang sekarang saja kita bisa menikmatinya?”
Aku mengangguk menyetujuinya.
Mas Ray bukan hanya seorang pekerja café seperti yang pernah dibilang orangtuanya. Yang mereka tidak tahu adalah, café milik Mas Ray terbilang sangat terkenal dan ramai walau tempatnya tidak begitu besar. Yang mereka tidak tahu, Mas Ray memiliki usaha sampingan. Banyak. Yang bahkan aku tak tahu, usaha apa saja yang sedang dijalaninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomansaNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...