Chapter 10Liburan, Yuk!
Aint I invisible?
Since hiding no longer easier
Aint I just strike you right?
Since missing find the homerun.
“Liburan, Yuk!”
“Kemana?”
“Kalau ke pantai, gimana? Kangen mantai, nih! Udah lama ngga.”
“Sama siapa aja?”
“Berdua aja. Mumpung kamu udah ngga sibuk sama kuliah lagi.”
“Eh??”
Tanganku yang sibuk melipat baju untuk kumasukkan ke dalam lemari pakaian terhenti. Sedikit terganggu dengan penuturan mas Ray barusan yang bagiku agak kurang masuk akal.
Pergi liburan ke pantai berdua saja? Setahun menikah, baru kali ini dia mengajakku liburan berdua. Selama ini palingan juga hanya jalan cari makan siang aja di dalam kota. Tidak pernah yang benar-benar mengkhususkan waktu untuk pergi berlibur. Kalaupun pergi ke luar kota, untuk arisan keluarga atau acara yang lain, pasti bareng sama orangtuanya. Menjenguk Eyang Uti di Surakarta, juga pasti berangkat bersama ayah dan ibu mertuaku. Tidak pernah benar-benar pergi berdua.
Dan kali ini dia mengajak berlibur berdua, karena alasannya aku sudah tidak lagi sibuk kuliah, terutama sibuk dengan skripsiku. Memangnya kuliahku begitu menghabiskan waktu ya selama ini? Bukan berarti aku menuntut karena tidak pernah diajak berlibur, sih. Tapi ya aneh saja menjadikan kuliahku sebagai alasan untuk tidak bisa menyisihkan waktu untuk kami jalan-jalan.
Lagipula, memangnya mau ke pantai mana sih, sampai harus menungguku lulus kuliah dulu untuk bisa kesana?
“Jauh, di luar kota. Butuh waktu sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan untuk bisa kesana,” jelas mas Ray saat aku menanyakan tujuannya.
“Wow, ngapain jauh-jauh gitu? Nggak bisa yang ada di Malang aja? Di sini kan juga banyak pantai yang bagus, Mas.”
“Nggak, kita harus kesana. Tempatnya bagus banget. Kamu pasti bakalan suka.”
Matanya masih tidak lepas juga dari laptopnya. Padahal dia sedang ngomong denganku. Ini kebiasaan yang baru kuketahui setelah menikah. Ketika mas Ray sibuk dengan laptop dan ponselnya, matanya tidak akan lepas dari kedua benda itu walaupun dia sedang berbicara dengan siapa saja. Sebelum menikah, aku tidak pernah mengetahuinya, karena ketika bertemu denganku dia pasti sedang dalam keadaan santai, tidak sibuk dengan pekerjaan. Dia akan mendengarkan dengan baik, dan memandang eye to eye pada siapa saja yang sedang diajaknya bicara.
Tapi setelah menikah, aku menghadapi dirinya dalam kondisi apapun, baik sibuk ataupun santai. Dan ketika dia sibuk, ternyata sedikit menyebalkan.
“Tapi kalau jauh gitu kan, malah capek di jalan. Bakalan makan waktu seharian buat pulang pergi doang. Dan di sana palingan cuman satu dua jam aja. Gimana, tuh?”
“Siapa bilang Cuma satu dua jam?”
“Tambah lama lagi, dong… berdua saja gitu kamu ngga capek nyetir mobilnya? Ngga ada yang gantiin nyetir. Bawa sopir aja gitu?” Kugeser dudukku agak lebih dekat. Pembicaraan ini bagiku harus dibicarakan dengan benar, bukan sambil lalu. Berlibur berdua, bukan acara yang bisa dibicarakan semudah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomansaNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...