Chapter 12: Perjalanan Tak Terduga

12K 1K 37
                                    

Chapter 12Perjalanan Tak Terduga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 12
Perjalanan Tak Terduga

Jika perih itu ada,

Semoga dia segera pergi,

Karena perlahan yang tertinggal,

Hanya tubuh tak berjiwa



"Semua udah siap?"

"Udah. Bawaan sudah masuk mobil semua. Baju ganti, peralatan mandi, charger, laptop, buku..." Aku menghitung apa saja yang harus kubawa, memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Mau buat apa bawa laptop segala? Kan aku udah bilang, kita mau liburan?"

"Barangkali aja, di sana dapat inspirasi bagus? Mas Ray sendiri yang bilang, aku bakal suka suasana di sana," sergahku membela diri. "bisa buat nulis."

Mas Ray menggeleng pasrah. Aku tahu dia tidak setuju, tapi aku tak bisa lepas dari laptop sekarang.

Aku menemukan cara baru untuk bisa membuat diriku sedikit merasa lebih tenang, menulis di laptop yang dulu diberikan mas Ray ketika aku masih mengerjakan skripsi. Bukan apa-apa, hanya saja dengan laptop kecil itu, aku bisa menulis, menuangkan segala ide picisanku ke dalam lembar word dan menjadikannya sebuah kisah. Tak perlu orang lain yang membaca. Kadang memang kuikutkan lomba, tapi aku juga tak pernah berharap menang.

Aku menulis, agar aku bisa menciptakan dunia yang hanya aku sendiri yang bisa menggenggamnya. Tidak seperti di dunia nyata, ketika segalaku, bukan menjadi bagaimana mauku.

Hanya saja untuk kali ini aku sendiri sedikit heran, entah bagaimana cara mas Ray meyakinkan orangtuanya untuk bisa melepas kami travelling hanya berdua. Tapi memang dari dulu dia selalu memiliki cara tersendiri untuk bisa meyakinkan orang lain. Kalau saja itu aku, ketika mereka sudah menolak di awal, aku pasti sudah tak bisa berkata apa-apa dan pasrah saja. Aku tak berani mengeluarkan pendapatku, apalagi berontak.

"Bismillahirrahmanirrahim." Semoga saja, perjalanan liburan kami ini menyenangkan. Aku tersenyum tipis membayangkannya.

Ini perjalanan pertamaku berdua bersama mas Ray ke tempat yang jauh dari rumah. Seperti ini, aku merasa seperti benar-benar memiliki seseorang. Aku tahu aku tidak seharusnya berharap, tapi tanpa bisa dicegah, aku diam-diam menyimpan asa. Bahwa kami bisa menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Bolehkah?

Aku tahu, perjalanan kami masih panjang. Ah, bahkan hubungan kami berdua pun berjalan sangat lambat. Ada pergeseran makna dari hubungan yang kami jalani. Dari kakak beradik, menjadi suami istri. Walaupun status bisa secepat itu berubah karena sebuah janji di akad nikah, tapi aku tahu, hati tak bisa secepat itu berubah.

Menikah dengan orang yang dicintai, walau nyatanya aku tak berani membayangkan, tapi aku juga sama dengan orang lain. Aku inginkan itu.

Pernyataan Rifky yang tiba-tiba saat itu, benar-benar membuatku tak berdaya. Tak bisa kupungkiri, aku bahagia sekaligus meratap mendengarnya. Dicintai orang yang selama ini menjadi bagian terlekat di hatiku, bahkan bermaksud menjadikanku halal baginya. Namun sayangnya, justru di waktu ketika semua terlambat. Andai saja dia datang, sebelum mas Ray menikahiku, tentu akan lain ceritanya kan?

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang