Chapter 15
Ketemu!
Oh, apa yang akan terjadi, pasti terjadilah.
Binar rangkai suratan yang tak bisa diramu.
Dia ada. Tapi tak tersentuh.
Dia tak ada. Namun terbalut angan.Aku mulai menulis lagi.
Yah, setidaknya ada bagian dari diriku yang membuatku ingin terus menulis. Sudah lama sekali laptopku menganggur. Mungkin sejak aku melahirkan perlahan aku meninggalkan laptop yang seharusnya mulai terbiasa dengan tanganku.
Aku ingat, dulu, saat aku ingin membuat cerita, aku punya lembaran kertas folio yang menjadi penyelamat ide-ideku yang berserakan. Di dalam tas, aku selalu membawa selembar kertas folio bergaris yang berisi coretan-coretanku. Di bawah bantal, selalu ada pena dan juga lembaran kertas bergaris yang kutulis dengan sebuah cerita sebelum terbawa ke alam mimpi dan bertemu dengan ide baru lainnya.
Aku lebih suka dengan folio bergaris itu, daripada harus membawa buku tulis kemana-mana. Terlalu berat menurutku.
Dan lembaran folio itu hangus terbakar oleh amarah mamaku di tahun ketiga aku kuliah, sebelum akhirnya mas Ray mengijinkanku memakai ruangan kerjanya di café. Tak ada sisa dari segala cerita fiksi yang kutulis sejak aku masih remaja dan mulai asyik dengan dunia khayalanku. Mama tidak pernah mengerti, bahwa lembarang-lembaran yang hanya dianggapnya sampah itu penyelamat hidupku yang bagai mayat hidup. Cerita fiksi dan khayalan itu yang membuat otakku tetap bekerja.
Danial membuatku hampir tak bisa menyentuh bongkahan kotak berwarna merah berukuran 12 inchi yang sudah menemaniku sejak aku menjadi istri mas Ray. Laptop kecil atau yang biasa orang sebut dengan notebook ini tergeletak di atas rak buku rumah kami selama hampir setahun. Aku khawatir berjamur, rusak dan tak bisa kugunakan lagi.
Sambil menggendong bayi kecil ini agar lekas terlelap, aku iseng menurunkan laptopku menyalakannya sebentar. Seperti hal nya motor dan mobil, mesin laptop yang jarang digunakan pun harus sesekali dinyalakan untuk “dipanaskan”. Agar tidak aus dan rusak.
Aku rindu menulis.
Mungkin, sebaiknya aku menjadwalkan lagi, kapan aku bisa menulis lagi. Karena sekarang tidak seperti dulu yang aku bisa menulis kapanpun aku memiliki waktu senggang.
Hampir 24 jam aku bersama Danial, dan dia hampir tidak bisa ditinggalkan. Membersihkan rumah, aku hanya bisa semampuku. Sekedarnya saja seperti menyapu dan mengepel. Aku tak berani membersihkan debu yang terlalu banyak, atau dia yang berada dalam gendonganku bakal bersin-bersin tak berkesudahan setelahnya. Aku harus menunggu mas Ray libur kerja dan bisa menjaga Danial sebentar, sementara aku membersihkan debu yang mulai menebal di gorden, atas jendela, dan sudut rumah lainnya.
Memasakpun aku tak mungkin membawanya berlama-lama. Aku khawatir dia akan terkena percikan minyak atau air panas. Aku jadi lebih banyak beli dari luar, dan sepertinya mas Ray mulai protes. Dia ingin aku memasak, belajar memasak untuknya dan anak kami. Tapi bagaimana aku bisa memasak dengan tenang, jika baru sebentar saja dia kutaruh di kamar, dan sepuluh menit kemudian aku mendengar jeritannya.
Jangan sebut tentang kamar mandi. Hampir setiap aku buang air kecil, dia ada dalam gendonganku. Kumohon, jangan katakan aku jorok. Tapi bagaimana aku bisa tega, kalau dia menangis terus-terusan sejak aku menutup pintu kamar mandi. Beruntung siklus buang air besarku harus di pagi hari sebelum mas Ray berangkat ke café. Mandi sekali saja di pagi hari. Bisa dibayangkan, betapa kucelnya aku saat menyambut suamiku pulang bekerja. Aku tahu aku bau dan tak terawat. Bukan aku tak mau. Aku hanya tak sempat.
Sudah jam delapan malam, seharusnya sebentar lagi mas Ray pulang. Mungkin aku bisa menyalakan sebentar internet dan mengecek komunitas menulis yang kuikuti di facebook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
DragosteNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...