CHAPTER 34
DUH!
“Are you sure about this?”
Wajah ayu bergincu tipis dengan riasan yang tak terlalu tebal di wajahnya itu memandangku penuh ragu. Lagi-lagi dia berbalik memunggungi lift untuk memastikanku.
Padahal kami sudah berada di lantai lobi.Dia tak begitu yakin aku bisa membawa kedua anakku bepergian sendiri. Alina harus segera berangkat ke kantornya, dan jika dalam waktu sepuluh menit lagi dia tidak segera membawa mini cooper-nya berlalu dari basement apartemen, bisa dipastikan dia akan terlambat checklock lagi.
Masalahnya, aku ada pertemuan penting dengan seorang editor dari penerbit yang akan menerbitkan naskah karanganku. Sedangkan anak-anak, tak mungkin kutinggal sendirian di rumah.
"Mbak Risma bilang di dekat kantornya ada daycare kok, nanti Danial bisa kutitipkan sebentar di sana. Diandra bisa sama aku."
"Tapi kalau Danial rewel, gimana? Dia kan ngga biasa sama orang asing."
Aku tersenyum. Aku tahu dia sangat khawatir, tapi aku tak boleh terus ketergantungan kepadanya, atau kepada siapapun. Ada saatnya nanti ketika aku harus merawat sendiri anak-anakku tanpa bantuan orang lain, dan sekaligus mencari nafkah. Situasi seperti ini, harus bisa kuatasi mulai sekarang.
“Wes talah, Lin... kamu doakan saja aku berhasil kali ini. Tak ada revisi lagi, jadi tuntas!”
Aku bersiap mengangkat tas ransel, berisi laptop dan keperluan dasar anak-anak. Tanganku menggandeng Danial dan bayi Diandra masih terlelap dalam dekapanku. Segera kudorong Alina masuk kembali ke dalam lift menuju basement sambil melambaikan tangan meyakinkannya.
Begitu pintu lift tertutup, aku segera beranjak keluar dari gedung apartemen tempat tinggalku dan Alina dan mencari angkutan kota menuju lokasi tempatku janjian dengan editorku.
***
Beruntung ada bis kota yang berhenti di halte dekat apartemen. Dengan sedikit bantuan kondektur bis, akhirnya aku dan kedua anakku berhasil masuk dan mendapatkan tempat duduk.
Ini pengalaman pertamaku bersama anak-anak naik angkutan umum sendiri. Terutama Danial, dia terlihat girang sekali dan menikmatinya. Berkali-kali dia memanggilku sambil menunjuk-nunjuk apapun yang dilihatnya.
“Asyik, ndak naik bis kaya gini?” tanyaku.
“Iya!” serunya tertawa-tawa menunjukkan deretan gigi putihnya yang belum tumbuh lengkap.
“Kalo Mas Dani capek, bilang, ya?”
Dia menggeleng. “Ndak tapek. Ibuk sama adek. Mas bisa.” Lagi-lagi dia tersenyum, membuatku ingin menciumnya gemas.
Lelaki kecilku yang bahkan belum genap tiga tahun, bisa sedewasa ini. Di saat anak-anak lain seusianya akan puas bermanja dan berada dalam gendongan orangtua mereka, dia sudah cukup puas dan bangga bisa berjalan sendiri walau masih digandeng.
Danial tak pernah memintaku menggendongnya, kecuali saat dia merasa sakit. Lelaki kecilku ini yang selalu siaga ketika membantuku merawat adiknya yang masih bayi. Aku bersyukur, tak terlihat rasa iri apalagi cemburu di matanya semenjak adiknya lahir. Padahal, perhatian dan kasih sayang yang seharusnya bisa utuh dia dapatkan, harus terbagi dengan kehadiran adik bayinya.
“Ibuk, tiyum...” Danial menarik lenganku, meminta untuk mencium adiknya yang sedang tidur. Dia tahu, aku akan mengijinkannya. Dia tahu, aku tak akan melarangnya mendekati adiknya. Karena aku tahu, dia tak akan pernah menyakiti adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...