Chapter 21
Aku Cemburu"Sayang."
Tengkukku berjengit tiap kali kudengar panggilan itu. Padahal sudah sering kudengar, tapi tetap saja aku tidak terbiasa.
"Mau ikut makan malam di luar besok?"
Aku menoleh, tidak biasanya dia mengajakku keluar. Tidak setelah sekian lama. Kencan-kencan manis yang terasa sebagai kencan bekas orang lain itu hanya terjadi di tahun pertama pernikahan saja. Setelah aku hamil dan ada Danial, jarang sekali aku keluar walau hanya untuk sekedar makan malam.
"Kenapa?" tanyaku tanpa menoleh karena sedang sibuk melipat baju bersih.
"Pingin aja ngajak kamu makan di luar. Candle light dinner?"
Aku memutar bola mataku, yang benar saja.
"Danial mau diajak candle lite dinner? Cari tempat yang kids friendly aja kalau memang mau makan di luar."
Kurasakan pelukan tiba-tiba dari belakangku. Tangan Mas Ray menyelinap di bawah lenganku dan merengkuh pinggangku. Kemarin aku berdegup ketika dia melakukan ini, tapi sekarang, aku merasa risih.
"Nggak, aku pingin Cuma berdua aja sama kamu. Danial nanti kita titipin ke Maya aja. Aku sudah bilang kok, Maya mau menjaga Danial besok malam."
Keningku berkerut mendengarnya.
"Kapan sih kamu mau ngomong dulu ke aku sebelum ngambil keputusan sepihak?" kulepas pelukan Mas Ray paksa.
"Sayang..."
"Nggak," potongku, "nggak ada makan malam di luar besok. Kamu mau keluar, keluar aja sendiri. Aku di rumah sama Danial."
Kutinggalkan Mas Ray yang masih tercengang dengan jawabanku. Mungkin dia tak mengira akan mendengar penolakan dariku.
***
Ibu jariku menggulir percakapan yang terjadi di gawai yang ada dalam genggaman. Percakapan yang baru-baru ini hadir di setiap dentingan pemberitahuan smartphone milik Mas Ray. Entah setan apa yang menyusupi pikiranku, sehingga mampu membuatku diam-diam berani mengecek apa yang mungkin disembunyikan suamiku.
3 messages from Kayla
Mungkin nama itu, yang tak sengaja kulirik tadi saat dentingan pertama masuk, membuatku penasaran. Mas Ray terlelap di sebelahku, tanpa tahu aku menggulir setiap pesan yang masuk baik dari grup reuni kampusnya, dan juga setiap pesan pribadi dari perempuan itu.
Lagi-lagi, Kayla. Sepertinya memang takdir selalu akan membuat kami berputar beriringan.
Dalam waktu semalam, aku bisa merangkum apa yang kubaca. Kayla baru masuk grup reuni kampus Mas Ray seminggu yang lalu. Pada akhirnya mereka berdua bertemu lagi, dengan sendirinya, tanpa bantuanku. Takdir yang lucu. Aku yang mati-matian ingin mempertemukan mereka, malah akhirnya bertengkar dengan Mas Ray waktu itu. Sekarang, mereka bisa bertemu dan berkomunikasi kembali begitu saja tanpa campur tanganku sedikitpun.
Aku menahan nafas ketika membaca satu persatu pesan Kayla. Wanita itu kini seorang janda. Lelaki yang dulu begitu berlebihan menunjukkan kasih sayang mereka di depanku ternyata bukan lelaki yang baik. Mereka menikah karena dijodohkan. Kayla terpaksa karena patuh dengan perintah orangtuanya. Mereka berfikir, lelaki itu pemuda kaya dengan hektaran tanah perkebunan bisa menghidup putrinya dengan layak. Tanpa sepengetahuan Kayla, pinangan itu ternyata sebagai balas budi karena telah membantu membayar hutang ayah Kayla yang berjumlah puluhan juta rupiah. Ayah Kayla seorang pemabuk dan penjudi, seperti yang papa mertuaku pernah katakan.
Mantan suami Kayla ternyata tak lebih dari seorang yang kejam. Dia mengaku mencintai Kayla, tapi juga seorang pengekang. Tak sekali dua kali dia memukul Kayla karena kesalahan kecil. Segala siksaan dialaminya, baik verbal maupun fisik. Yang sering menjadi alasannya adalah, karena ayahnya seorang miskin yang rela menjual anaknya untuk membayar hutang.
Miris. Perempuan berhijab itu... hidupnya tak seindah yang kubayangkan.
Yang terakhir, lelaki itu berani mengajak perempuan lain menginap di rumah mereka. Lagi-lagi, alasan mantan suami tak bertanggung jawab itu, dia berhak karena telah menikah siri dengan perempuan lain itu. Walau tanpa sepengetahuan Kayla.
Ya Allah... kasihan sekali Kayla.
Pantas saja, ketika saat itu aku bertemu dengannya benar-benar terasa aneh. Lelaki itu terlalu berlebihan sampai aku sendiri risih melihatnya. Dan Kayla... terlihat... aneh. Dia juga tidak nyaman seingatku.
Pantas saja, aku merasa aneh. Dia menghubungiku, mengirim salam untuk Mas Ray tanpa tahu yang dia tuju telah menjadi suamiku, padahal dia sendiri sudah bersuami.
Kayla, yang kini seorang janda. Dia membutuhkan pertolongan.
Pesan itu berakhir di situ.
***
"Aku ada salah ta, Nay...?"
Mas Ray membuntutiku yang sedang sibuk membersihkan sisa makan malam Danial, dan beralih menyiapkan meja makan untuk makan malam mas Ray. Sepertinya dia tidak terima dengan penolakanku atas ajakan makan malamnya.
"Nggak ada..."
"Terus, kenapa ngga mau?"
Aku menghela. "Mama berpikir kamu hanya pekerja rumah makan. Tidak pantas menghamburkan uang. Makan malam di luar juga termasuk menghamburkan uang. Ella pikir, kamu ngga bisa ngasih uang buat beli susu mahal. Daripada kamu buang uang buat makan malam di luar, lebih baik beli susu mahal buat Danial. Biar dia gemuk! Ngga kurus kaya anak kurang gizi. Biar dia kelihatan sehat. Ngga dianggap kaya anak ngga diurus sama ibunya yang ngga becus ngurus anak," cerocosku tanpa henti.
Membuncah, baru kali ini kukeluarkan uneg-unegku dalam sekali tarikan nafas.
Yang kuajak bicara, malah tersenyum simpul, dia seakan menahan tawa melihatku lucu.
"Kamu itu dihina keluargamu sendiri, ngga sakit hati apa?"
"Biar aja sih, mereka mikir apa. Yang penting kan, aku ngga seperti itu. Aku masih mampu menghidupi keluargaku dengan layak," jawabnya acuh.
"Mas Ray, kamu itu bukan Cuma pekerja rumah makan. Kamu kan juga..."
"Nayara..." potong mas Ray, "apa kamu pernah keberatan dengan profesiku? Kamu keberatan aku bukan pekerja kantoran bergaji milyaran seperti Papa, Fikri? Kamu menyesal, aku Cuma..."
"Aku bukan perempuan mata duitan."
"Maka itu sudah cukup bagiku," Mas Ray tersenyum mendengar jawabanku.
Aku menghela. Dia yang seperti ini, mungkin yang membuat Kayla jatuh hati berkali-kali padanya. Pikiranku melayang lagi pada guliran percakapan yang kubaca khatam semalam.
Mas Ray masih belum tahu, bahwa aku mengetahui rahasianya yang satu itu. Pertemuan kembali dengan Kayla. Jantungku tak bisa kukendalikan degupannya.
Apakah dia ingin bertemu lagi dengan perempuan itu? Bisa jadi.
Aku menghela berat. Bukankah memang masih ada cinta di hatinya untuk perempuan itu? Kalau tidak, tak akan mungkin pembahasan Kayla bisa mampir lagi di perdebatan antara mas Ray dan orangtuanya waktu itu.
"Aku ingin kita makan malam berdua saja. Dan..." dia mengambil tanganku, menggenggam keduanya, menghentikan kegiatanku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya, "...ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
Aku menoleh ke arahnya. Lunglai. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.
Lagi-lagi, rasa tak nyaman menjalari hatiku. Denyaran jantungku membuatku menghela berat. Aku benci ketika aku menyadari darimana denyar tak nyaman itu berasal. Aku cemburu, pada cinta pertama suamiku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...