Chapter 36: Tulip Putih

15.6K 1.1K 38
                                    

CHAPTER 36

Tulip Putih

Tulip Putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tulip Putih

Sebuket tulip putih dan snack box tanpa nama pengirim teronggok di kursi sebelahku. Masih terbungkus rapi bahkan tak kuatik-utik sama sekali. Tanpa catatan khusus, hanya terpesan bahwa paket itu ditujukan untukku.

Mbak Risma yang menungguku membaca surat kontrak yang akan kutandatangani hanya tersenyum-senyum menggoda. Aku berusaha mengabaikan, tak ingin tersulut emosi tak jelas karena aku menghormatinya.

Ya benar, aku emosi.

Aku kesal, emosi dan merasa marah bercampur aduk pada pengirim tak jelas itu. Siapa yang usil kepadaku seperti ini? Berani-beraninya mengirim paket yang bisa menimbulkan fitnah itu ke tempat Eyang Uti. Mau ditaruh di mana mukaku di hadapan beliau? Aku belum resmi bercerai dengan cucunya, dan sekarang malah ada orang yang mengirimiku barang seperti ini.

“Berasa dapat kiriman dari secret admirer, ndak, Mbak Naya?”

Kujawab pertanyaan itu hanya dengan senyuman tipis. Kalau saja dia tahu, bahwa aku sama sekali tak suka. Sebaliknya, Mbak Risma malah seakan menatap buket besar itu dengan menghamba.

“Andai saja aku yang dapat kaya gitu, Mbak. Ngga bakalan mukaku ditekuk terus kaya Mbak Naya.”

Aku tersentak, sedetik kemudian tersenyum malu. “Pengirimnya ndak jelas, Mbak Risma. Saya malah takut jadi fitnah. Terakhir saya dapat yang beginian, jadi pengalaman buruk, Mbak, buat saya.”

Aku teringat beberapa tahun lalu, saat aku mendapatkan buket bunga pertamaku. Tulip putih yang hampir sama dari lelaki yang pernah kucintai begitu lama, namun sayang terlambat datang. Memberinya kejutan bahwa aku sudah tak mungkin lagi menerima lamaran darinya, sama-sama menyakitkan juga untukku.

Tersungging tipis di sudut bibir kala kuingat waktu itu. Di hari itu pula, setelah tak mampu kuterima tulip putih itu, pertama kalinya aku dan mas Ray memberi ruang untuk saling menyentuh.  Walau hanya sekedar pelukan dan ciuman kilat.

Kurasa... saat itulah Allah membuka hatiku untuk menerimanya sebagai suamiku secara utuh. Tak lagi menjadikannya sebagai sekadar hutang budi, tapi juga keinginanku untuk mengabdikan diri selama aku masih menjadi istrinya.

Mbak Risma tak lagi mempertanyakan kiriman paket yang kuterima persis di depan kantornya. Kutawarkan padanya untuk menyimpan buket itu jika dia menyukainya.

“Lagipula saya ngga ada waktu Mbak, buat nyari pengirimnya. Percuma saya bawa.”

“Ada orang yang berusaha untuk mendapatkan hatimu, Mbak. Hargai saja itu sebagai perjuangan dia. Jangan diberikan pada orang lain,” tolak Mbak Risma halus.

Aku tahu, tak sopan juga memberikan bunga bekas pada orang yang sudah banyak membantuku. “Ya sudah, nanti Mbak Risma kuganti dengan buket yang baru ya, Mbak! Yang jauh lebih indah, dan lebih bermakna dari ini.”

Nayyara, Lost in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang