Garis Dua, Lagi
“Kamu yakin bisa melakukan semuanya sendiri?”
Baru saja keluar dari kamar mandi, aku sudah ditodong pertanyaan itu lagi.
Pertanyaan kesekian kalinya yang harus kudengar dari mas Ray, dan kali ini aku hanya membalasnya dengan tatapan yang-benar-saja-masih-tanya-lagi. Aku merasa tidak wajib menjawabnya karena sebenarnya dia sudah mendapatkan jawaban pertanyaan itu berkali-kali.
Mas Ray menawariku mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantu mengurus rumah. Dia melihatku kewalahan sepertinya. Tapi sayang aku tak bisa menerimanya. Menerima asisten rumah tangga bukan menjadi wewenangku. Mas Ray seharusnya sudah tahu itu.
“Dia kerjanya kan di sini, kamu nanti kan bisa memilih yang pas buat kerja sama kamu,” ujarnya masih juga bersikeras seraya mengekorku kemana aku berjalan.
“Boleh aku jujur aja? Tapi nanti kedengarannya agak ngga enak juga di telinga.”
“Emang mau ngomong jujur apa?” Mas Ray mengikutiku duduk di ruang keluarga, seraya mengelus rambutku yang sudah mulai memanjang lagi. Aku sempat memotongnya saat usia Danial menginjak 3 bulan waktu itu, karena tak tahan dengan rontoknya yang berlebihan.
“Kamu mustinya sadar lho, Mas…,” aku mulai menjelaskan dengan hati-hati, “…, meskipun kamu bilang kita hidup mandiri di sini, di rumah ini, tapi coba lihat di sekelilingmu,” tanganku membuat gerakan berkeliling agar dia juga bisa melihat apa yang sedang ingin aku sampaikan, “Semua barang yang ada di rumah ini, tidak ada satupun yang menjadi pilihanku.”
“Mama Cuma mau bantu,” debat mas Ray, “ agar lebih layak—“
“Layak menurut Mama,” potongku. “That’s the point. Layak menurut Mama. Bukan menurutmu atau aku.”
“Aku ngga ada masalah, kok. Kamu keberatan dengan semua barang-barang ini?”
“Bukan masalah itu, Mas… Ya Allah, masa iya sih, kamu ngga paham juga?”
“Jangan ngomong berputar-putar.”
“Apa yang terjadi di rumah ini, harus dengan persetujuan Mama,” ungkapku akhirnya.
Bisa kulihat dari kedua matanya yang memicing menatapku, ada keraguan di sana. Mas Ray tidak percaya. Tentu saja. Karena dia tak merasakannya sendiri. Setiap jengkal perabot dan hiasan yang ada di rumah ini yang mengaturnya adalah mama mertuaku. Lukisan dan kaligrafi yang tergantung di ruang tamu, ruang makan, musholla semua yang memilih mama. Bahkan lemari pakaian dan tempat tidur yang ada di ruangan paling pribadi kami, yang menata adalah mama.
Sungguh, aku tidak ada keberatan sedikitpun. Kalau boleh jujur aku juga tak peduli, apakah mama mengatur bagaimana kami menyimpan sendok makan. Hanya saja, bagiku, itu sudah menunjukkan kuasanya akan rumah ini. Aku tak mau mengubahnya. Tak ada keberanian mengubahnya.
“Mungkin satu-satunya yang tak bisa diatur oleh Mama adalah coretan Danial di tembok itu,” jari telunjukku menunjuk ke arah yang membuatnya tertawa.
Pria kecil kami seorang seniman. Mencoret-coret dinding dengan apapun yang bisa dipakainya menggambar, adalah hobinya. Kurasa semua bocah juga akan bertingkah seperti dia. Rumah yang ada anak kecil di dalamnya, jarang ada yang selamat dari korban coretan.
“Dan kalau kamu nggak segera mengecat ulang dindingnya, aku khawatir nanti Mama akan marah lagi. Mama ngga suka dinding rumah penuh coretan. Dan aku nggak bisa pura-pura bisa mengecat, Mas,” tegasku.
Mas Ray menyeringai. Walau sebenarnya dia sedikit enggan, namun akhirnya setuju juga untuk mengecat ulang dinding rumah yang mulai penuh coretan di setiap ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...