CHAPTER 7
JACKPOT
Duduk di depan meja kasir, dengan laptop dan tumpukan diktat di hadapanku, membuatku seperti anak kuliahan yang sedang kerja sambilan dan sedang memanfaatkan waktu luang mengerjakan tugas.
Sejak kejadian mama masuk rumah sakit, aku memilih untuk seminimal mungkin berada di dalam rumah. Aku akan mencari alasan untuk bisa pergi ke kampus hampir setiap hari. Atau tidak, seperti sekarang ini, ikut ke café dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin di sini.
Sebenarnya, bukan hal baru aku berkunjung ke café d’Troya milik mas Ray. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya bagiku berkunjung sebagai istri dari owner café. Beberapa pekerja yang mengenalku, jadi sibuk menggodaku yang sudah berganti status.
“Duh, Mbak Naya, sering-sering kesini, Mbak… Bapak itu suka banyak yang godain! Sebagai istri, Mbak Naya itu kudu bisa menjaga suaminya,” bisik salah satu pelayan yang menghampiriku di meja kasir. Café sedang tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja kalau masih pagi begini.
“Ah, Mas Tris ngarang, nih… mana ada sih, yang mau sama Mas Ray?”
“Beneran, Mbak… Bapak itu baiknya suka kelewatan. Suka senyum-senyum sama orang. Apalagi sama perempuan.”
“Lha kalau ngga senyum, dibilang jutek dong? Nanti café-nya jadi sepi gara-gara ownernya ngga ramah! Gaji mas Tris jadi kurang, lho…” godaku balik.
“Wah, ya jangan, Mbak… nanti saya ngga bisa bayar kos, diusir sama ibu kos, tinggal dimana, Mbak?”
Aku menahan tawa. Mas Tris ini, laki-laki, tapi suka lebay. Dia salah satu pekerja café yang blater dari sejak awal kerja. Tapi kekurangannya, suka gossip dan hiperbolanya kebangetan.
“Udah, jangan nggosip terus. Minta tolong pesenin frappuchino, ya, Mas? Sama schotel. Buat Naya,” pintaku. Dia segera sigap dan mengantarkan pesananku ke dapur. Berpikir dan mengetik membuatku lapar.
Suasana café yang lagi sepi seperti ini, membuatku bisa berkonsentrasi. Masih pukul 10. Belum jam makan siang. Yang datang hanya anak-anak kampus yang sedang menghabiskan waktu menunggu mata kuliah berikutnya dengan nongkrong dan menumpang jaringan wifi yang memang disediakan untuk pengunjung. Aku bisa menyelesaikan tugasku sebelum jadwal bimbingan esok.
Agak siang menjelang, beberapa pengunjung akan asyik memenuhi pojok baca. Satu sudut ruangan café yang didesain lesehan dengan rak-rak pendek berisi penuh buku bacaan yang hanya bisa dibaca di sini sembari menikmati pesanan mereka. Saat mulai sore, pengunjung yang mulai santai akan melepas penat di skecth corner. Mas Ray meletakkan beberapa canvas kecil kosongan dan alat lukis dan gambar yang bebas dipakai siapa saja yang iseng ingin menuangkan seni. Beberapa canvas yang sudah terpakai, dan bagus, akan dipajang mas Ray. Kalau ada yang ingin membawa pulang, harus menggantinya dengan sejumlah uang.
Konsep café ini bukan biasa, sebenarnya. Unik dan menarik, serta menjadi tempat tujuan segala usia. Selain menu ringannya yang beragam, pengunjung juga bisa menghabiskan waktu dengan buku dan lukisan. Ini bukan café murahan, yang beromset rendah seperti yang menjadi dugaan orangtua mas Ray selama ini.
Owner dari café ini sendiri, juga bukan pengangguran yang hanya duduk diam dibalik meja kasir. Mas Ray itu, seorang pengusaha muda. Dia berinvestasi di banyak lini bisnis lainnya selain sekedar menjadi pemiliki café. Sisi ini yang tak pernah sekalipun ditunjukkan kepada mama dan papa mertuaku.
Yes. My husband is a real busy businessman. Dia sedang sibuk meeting berkali-kali di ruangannya dengan orang yang berbeda sedari pagi, dan istrinya ini menggantikannya duduk manis di balik meja kasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayyara, Lost in Marriage
RomanceNayyara menerima pinangan Rayyan sebagai jalan keluar "kabur" dari rumah orangtuanya dengan cara yang baik. Padahal dia tahu, lelaki yang selalu dianggapnya sebagai Abang itu masih belum bisa move on dari bayangan kekasih masa lalunya. Pernikahan ya...