Ketika Rasa itu Tumbuh

176 54 56
                                    

(‘’La, makasih banyak atas konfirmasinya ya,’’)

Masuk pesan di akun fb-ku dan segera kubaca ternyata Arif yang mengirimiku pesan.

‘’Setelah kukonfirmasi fb-nya. Eh, dia langsung chat aku.’’ batinku tersenyum.

(‘’Iya, sama-sama, Bang.’’) balasku singkat.

(‘’Oh ya, kalau boleh tahu kampungnya di mana, La?’’) tulisnya bertanya kembali.

‘’Bukankah kemarin, ketika aku membeli sambal dia udah bertanya di mana kampung halamanku? Atau aku yang lupa? Hhuuff,  dia yang lupa kali ya.’’ batinku sembari menatap benda pipihku. Aku pun kembali membalas pesannya.

(‘’Solok Selatan, Bang.’’) balasku singkat. Kembali kuletakkan benda pipih. Aku tak bertanya balik ke dia. Aku mah orangnya begitu tak pandai modus atau pun bermanis mulut. Karena belum pada waktunya. Hehehe. Apalagi aku baru kali ini saling berkirim pesan dengan lelaki.

***
Usai melakukan ritualku. Sore harinya, kupergi membeli sambal lagi ke tempat biasa. Belum sampai di sana, dari kejauhan dia sudah memandangiku sembari tersenyum. Membuatku salah tingkah, jantungku berdegup lebih kencang. Dan sesampainya di sana.

‘’Eh, Lala. M—mau beli apa, La?’’ tanya Arif gugup  sembari tersenyum.

‘’Ayam rendang aja lah, Bang.’’ucapku sembari berdiri di dekatnya.

‘’Kok nggak kayak biasanya, La,’’ dia mengernyitkan kening. Ahh! Aneh nih karyawan. Suka-suka akulah. Uang kan uang aku. Ihh! Sebal.

‘’Hehehe. Ganti selera aja, Bang. Biar nggak bosen.’’ ucapku sembari terkekeh. Dia hanya ber 'oh' sembari tersenyum khas miliknya.

Arif pun mengambilkan sambal yang kupesan sedari tadi. Dan setelah beberapa menit, dia pun langsung menyodorkan plastik yang berisi sambal itu .

‘’Nih, La. Makasih ya,’’ lirihnya. Aku pun membalas dengan senyuman sembari menyodorkan uang  15.000 ribuan ke dia.

‘’Ya, Bang. Sama-sama. Aku balik dulu ke kos.’’ aku tersenyum dan pamit ke Arif.

‘’Iya. Hati-hati di jalan ya, La,’’ ucapnya sembari tersenyum manis memandangku.

Aku segera melangkahkan kaki ke kos. Eh, by the way tumben aku pamit ke dia ya. Atau aku mulai? Ah, tak mungkin lah aku ada rasa kepadanya. Aku bergegas melangkahkan kakiku kemballi ke kos. Beberapa menit setelah sampai di kos, perutku terasa lapar sekali. Aku langsung membuka plastik sambal yang tadi kubeli. Seketika emosiku sudah berada di ubun-ubun rasanya.

‘’Nih orang ya, disuruh ngambilin ayam. Malah ngambilin hati ayam, dasar tuh orang jadi karyawan nggak beres!’’ ketusku sembari melemparkan plastik yang berisi sambal itu ke pintu.

Darahku terasa seakan mendidih dibuatnya saking emosinya diri ini. Bisa-bisanya dia salah mengambilkan sambal untukku. Aku tak habis pikir yang ada di benaknya itu.
Sesaat kemudian aku tersadar dan beristighfar.

‘’Astagfirullah 'al adziim. Ya Allah, mungkin aku yang salah, dia nggak seperti biasa sikapnya. Mungkin dia ada masalah kali ya, nggak apa-apalah walaupun aku nggak suka hati ayam.’’ lirihku kembali tersadar.

Aku pun bergegas meraih plastik yang berisi sambal yang kulemparkan ke tepi pintu tadi. Lantas mengambil nasi di magic. Kupaksakan untuk makan dengan sambal hati ayam itu, walaupun  sebenarnya aku tak suka dengan hati ayam. Mama sebenarnya sering memasak hati ayam ketika sebelum aku kuliah, tapi aku tetap saja tak suka.

Papa dan adikku-lah yang menyantapnya, pokoknya aku tak suka sekali. Mual aja perutku terasa ketika makan hati ayam, semoga sekarang tak begitu lagi.

Beberapa menit usai kumakan, Alhamdulillah perutku tak begitu mual. Walau terasa sedikit kucoba untuk menahannya dan meraih minyak kayu putih untuk menciumi aromanya ke hidung. Setelah itu langsung kubuka aplikasi berwarna biru itu. Kulihat ada pesan yang masuk. Bang Arif? Karyawan dekat warung nasi di depan jalan.

(‘’La, boleh Abang minta nomor WA-mu?’’) tulisnya.

Kubaca berulangkali. Ahh! Apa aku bermimpi ya? Kutepuk dan kucubit pipi. Aww! Sakit. Ternyata aku tak bermimpi. Aku tersenyum bahagia.

(‘’Boleh, Bang.’’) balasku singkat disertai  dengan menambahkan emot tersenyum di akhirnya.

Aku segera mengirimkan nomor Wattsappku kepadanya, setelah beberapa menit benda pipihku kembali berdering. Kupandangi ternya ada pesan di aplikasi berwarna hijau itu.

(‘’La, ini nomor WA Abang disimpen ya,’’) tulisnya. 

(‘’Ya, Bang.’’) balasku singkat.

(‘’Oh ya, La. Bang nggak kerja dekat warung nasi itu lagi. Abang sekarang udah di kampung, La,’’) balasnya kembali.

Hah? Tiba-tiba kaget dan sedih memandangi isi pesannya itu. Teringat olehku ketika melemparkan plastik yang berisi sambal ke depan pintu dan aku menyalahkan dia. Mungkin ada sesuatu yang membuat dia berhenti kerja di sana dan jadi buah pikiran olehnya serta tidak fokus untuk bekerja. Atau? Atau dia mulai jatuh hati padaku?  Ahh! Tak mungkinlah.

‘’Ya Allah. Kenapa ketika dia bilang kalau dia nggak kerja di sana rasanya aku sedih banget. Apakah  rasa cinta itu mulai tumbuh untuknya? Apakah dia juga mencintaiku ? Ya Allah.Tolonglah aku.’’ batinku, tanpa kusadari buliran bening itu mulai jatuh di pipiku.

Bersambung...

Instagram: n_nikhe❤

Salahkah  Aku Mencintaimu? (Revisi/Otewe Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang