Ketika Sama-Sama Ada Rasa, Namun

128 50 63
                                    


‘’Ya Allah. Tumben aku merasakan kayak gini ya. Apakah aku mulai jatuh cinta sama dia? Ah, nggak mungkin,’’ batinku.

Aku mulai merasakan sedih teringat semua ucapannya, katanya dia tak bekerja lagi di sana. Aku merasa kehilangan. Biasanya dia yang selalu nampak olehku, dan biasanya dia yang melayaniku ketika membeli sambal. Senyumannya selalu menari-nari di benakku.

Kubiarkan benda pipih tergeletak di  ranjang. Aku terayun dalam lamunan dengan deraian air mata membasahi pipi. Wajahnya kini terbayang-bayang olehku. Sikapnya yang ramah, senyuman dan candanya selalu terbayang olehku. Seketika benda pipih berdering kembali lantas kuraih.

(‘’La, kok nggak dibalas pesan, Bang?’’) tulisnya kembali. Kuhela napas pelan.

‘’Lala nggak tahu apa yang sedang Lala rasain, Bang.’’ lirihku pelan sambil memantap benda pipih yang kugenggam.

Ya. Karena aku tak membalas pesannya, mangkanya dikirim kembali pesan kepadaku. Balas atau tidak ya? Tetapi aku ingin sekali membalas pesannya. Pesan dari orang yang kucintai.

(‘’Maaf ya, Bang. Tadi tuh La sedang masak nasi.’’) balasku berbohong.

(‘’Iya, La. Enggak apa-apa. Oh ya, semenjak La beli sambal ke warung nasi. Abang jatuh hati padamu,’’)

Degh! Jantungku berdegup lebih kencang, napasku terasa sesak, dan wajahku sekarang mungkin bak kepiting rebus. Air mataku kembali membasahi pipi kuusap perlahan. Aku pun merasakan hal yang sama sebenarnya.

Ya, aku pun mencintainya. Sama halnya seperti dia yang katanya jatuh hati padaku, bahkan lebih dari rasa cinta dia kepadaku. Tetapi, apalah daya aku tahu belum saatnya aku mengungkapkan perasaanku padanya, karena belum saatnya aku seperti ini, walaupun sebenarnya saling punya perasaan satu sama lain.

Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku esok kepada suamiku. Sekarang belum tentu dia jodohku.

‘’Tapi gimana? Apa yang harus kujawab? Aku pun ingin sekali mengatakan kalo aku juga punya perasaan yang sama, tetapi hati kecilku menolak agar nggak mengatakan hal itu. Ya Allah.’’
Kupaksakan mengetik pesan untuk membalas pesannya.

(‘’Hehehe. Abang bercanda aja.’’) kilahku. Kuusap kembali air mata yang menetes.

(‘’Enggaklah. Abang nggak bercanda kok. Kalau boleh, Abang jemput kamu ke kampungmu ya. Kita pergi jalan-jalan,’’) tulisnya kembali.

Degh! Jemput? Dadaku sesak seketika. Mataku terbelalak membaca pesannya. Dikiranya aku ini wanita yang mau diajak kesana-kemari tanpa hubungan yang halal.

‘’Ya Allah, astaghfirullah 'al adziim. Dia kira aku ini perempuan apaan? Yang gampang aja dibawa pergi jalan-jalan gitu, tanpa ada ikatan yang halal.’’ batinku kesal.

Aku pun memutuskan untuk tetap membalasnya. Kutarik napasku perlahan. Dan kuketik pesan balasan untuknya.

(‘’La percaya kok, Bang. Tapi ma'af sebelumnya, Bang. Kita 'kan belum ada ikatan yang halal. Dan La nggak pernah sekalipun  jalan-jalan dengan lelaki.’’) balasku.

Langsung centang dua berwarna biru, itu tandanya sudah direadnya. Mungkin sedari tadi dia menunggu balasan pesan dariku.

(‘’Nggak apa-apa kok, La. Bang ngerti kok, kalau La nggak mau pacaran. Bang akan melamarmu nanti ketika selesai wisuda,’’) tulisnya kembali.

Kubaca dan kupandangi berulangkali. Kukira mataku ini salah lihat. Kuusap mata berulang kali. Ternyata tidak. Karena aku begitu kaget membaca pesannya, tak percaya aja sih. Tetapi, aku merasa senang.

Karena jarang lelaki yang mau menerima alasan yang kuberikan itu. Ini dia malah tak marah sedikit pun. Hatiku sungguh berbunga-bunga hari ini. Saking berbunga-bunganya aku tak tahu jika aku sedang merobek-robek sesuatu di tanganku.

‘’Hah? Buku catatanku. Ya Allah. Astaghfirullah 'al adziim. Kok bisa sih?’’ aku menepuk keningku.

Kukumpulkan kembali kertas yang berserakan. Untung saja bukan buku tugasku yang kurobek. Tetapi catatan itu sangat penting untuk kuliahku. Ya Allah. Saking senangnya aku hari ini. Tapi aku tak boleh terlalu senang dan merasa berharap karena berharap kepada manusia itu akan berakhir dengan kecewa.

Ya, aku tak ingin merasakan hal itu. Dan sebelum terlambat aku ingin sekali jujur ke Arif, kalau aku tak mau saling berkirim pesan dengannya tanpa ada ikatan yang halal.

Tetapi, apakah dia nantinya akan marah? Kurasa, jika dia sungguh mencintaiku karena Allah. Dia tak akan marah. Malahan dia akan berusaha menjagaku dari perbuatan maksiat dan seorang lelaki yang sungguh mencintai kita itu tak kan rela jika orang yang dicintainya melakukan dosa.

Bersambung.

Instagram: n_nikhe

Salahkah  Aku Mencintaimu? (Revisi/Otewe Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang