Mendo'akanmu adalah Caraku Mencintaimu

111 45 41
                                    

Di  malam nan hening , aku terbangun dengan sendirinya. Kukumpulkan nyawa terlebih dahulu dan melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu'. Setelah berwudhu’ kukembali ke kamar dan menghamparkan sajadah di sepertiga malam.

Di akhir, aku menengadahkan tangan. Memohon kepada Sang Pencipta di keheningan malamku.

‘’Ya Robbi!  Ampunilah hamba-Mu ini, hamba telah mencintai seorang hamba-Mu. Jangan biarkan rasa cinta ini melebihi dari rasa cinta hamba kepada-Mu. Ya Robbi, ampuni hamba yang mencintainya. Hamba tahu mendo'akan adalah cara mencintainya dengan rahasia. Dan Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Mu ini. Jika dia bukan yang terbaik untuk hamba, maka jauhkanlah. Aamiin Ya Robbal 'aalamiin.’’  batinku dengan buliran air mata yang tak hentinya menetes sembari menengadahkan tangan, lalu kuusap mukaku perlahan.

Tak lama kemudian aku pun selesai sholat tahajud, lalu aku melantunkan ayat suci Al-qur'an sejenak dan melanjutkan tidur kembali.

***

Keesokan harinya, aku terbangun seperti biasa ketika adzan tengah berkumandang.

Kukumpulkan nyawa terlebih dahulu. Dan melangkah ke belakang untuk berwudhu’ , beberapa saat kemudian aku melaksanakan sholat shubuh dua raka'at dengan memanjatkan do'a yang sama. Setelah itu seperti biasa aku melantunkan ayat suci Al-qur'an, belum selesai aku melantunkan ayat suci Al-Qur'an benda pipih yang tergeletak di nakas itu berdering. Kuakhiri melantunkan ayat suci Al-Qur'an.

‘’Shadaqallahul 'aadziim.’’ sembari menutup Al-Qur'an dan kuletakkan kembali ke tempat biasa.

Lalu kubuka mukenah, kurapikan kembali mukenah dan sajadah ke tempat semula. Lalu kusambar benda pipih itu, kupandangi nomor kontak yang memanggil sedari tadi.

‘’Mama?’’ bergegas kuangkat.

(‘’Assalamua'laikum, Ma.’’) ucapku.

(‘’Wa'alaikumussalam, Nak. Kamu sehat-sehat aja kan?’’) suara  mamaku di seberang sana, suara yang kurindukan selama seminggu ini, karena mama dan aku jarang saling komunikasi. Mama yang begitu sibuk kerja serta aku pun dengan perkuliahanku.

(‘’Alhamdulillah sehat, Ma. Mama kapan kesini? Lala rindu banget sama Mama.’’) ucapku lirih.

(‘’Nak, Mama pengen banget ke sana, ke kosmu. tapi Mama kan masih ada kerja di luar kota. Papamu juga banyak kerjaannya di kantor. Mama juga rindu banget sama kamu, Nak. Do'akan kerja Mama dan Papa cepat selesai ya. In syaa Allah secepatnya Mama, Papa, dan Adikmu pulang,’’) mama mencoba meyakinkanku di seberang sana.

(‘’Iya, Ma. Aamiin Ya Robbal 'aalamiin. Lala selalu do'akan Mama dan Papa kok. Oh ya Ma, Papa dan adik mana?’’)

(‘’Papa, sedang keluar dengan adikmu. Udah dulu ya, Nak. Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa makan. Assalamua'laikum,’’)

(‘’Ya, Maa. In syaa Allah. Wa'alaikumussalam.’’) ucapku.

Sambungan telepon pun terputus. Kembali kuletakkan benda pipih itu di nakas. Aku termenung sejenak. Teringat kedua orang tua dan Adik bungsuku yang jauh berada di luar kota. Ya, semenjak aku kuliah tak pernah bertemu dengan papa, mama ataupun adik bungsuku itu. Mereka jarang berada di kampung halaman, karena keadaan yang memaksa mereka untuk bertahan tinggal di luar kota.

Ya, bisnis dan kerja kantor yang membuat mama serta papa betah tinggal di luar kota. Sedari aku kecil beliau sudah bekerja di sana, tetapi selalu membawaku kemana pun aku pergi. Kini? Kini aku harus mandiri, apalagi aku tengah melanjutkan pendidikanku. Jika rindu hanya do'a yang kukirimkan dan lewat benda pipih itu aku mencoba untuk menghilangkan sedikit rasa rinduku, tetapi tetap saja rindu ini semakin mendalam. Allah! Begitulah rasanya jauh dari kedua orang tua.

"Biarlah, nggak mungkin aku selalu bersama mereka. Aku harus bisa hidup mandiri. Apalagi cita-citaku yang ingin membahagiakan mereka belum tercapai sampe sekarang." lirihku pelan.

Bersambung.

Instagram: n_nikhe❤
 

Salahkah  Aku Mencintaimu? (Revisi/Otewe Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang