Surat Undangan Darimu?

98 41 18
                                    

Pagi ini perutku terasa keroncongan sekali, kulihat sambal tak ada sedikit pun. Kulirik benda yang melingkar di dinding itu menunjukkan pukul 07.50, itu tandanya warung nasi sudah buka sekarang. Aku langsung bersiap-siap dan lepas itu bergegas melangkah menuju warung nasi tempat biasa membeli sambal, sudah lama rasanya aku tak belanja di sana.

Ya, semenjak Arif tak bekerja lagi di sana, aku jadi malas dan kakiku sulit untuk dilangkahkan ke sana. Tapi, kini? Kini aku mencoba lagi untuk belanja ke sana. Aku tak punya pilihan lain karena sudah bosan rasanya membeli sambal yang kurang enak jauh rasanya dari rasa sambal tempat warung biasa. Ya, di tempat Arif jadi karyawan dulu. Rasanya memang enak dan ditambah lagi harganya ramah di kantong. 

Beberapa menit kemudian.

Ketika sampai di sana, bosnya Arif yang mengambilkan sambal untukku.

‘’Bu, ayam panggang satu dikasih cabe ya, Bu.’’ ucapku.

"Oke. Sebentar,  oh ya Nak, namamu siapa? Apa bisa Ibu minta tolong sama kamu? Ibu mau cari seorang perempuan yang sering belanja ke sini, bahkan dia kenal dan dekat banget dengan karyawan Ibu. Namanya Lala. Kamu kenal, Nak? Siapa tahu teman kelasmu di kampus,’’

Degh!

Aku kaget bukan main. Napasku terasa sesak, mataku melotot dan jantungku berdentam hebat.

‘’Kok Ibu ini bisa tau ya? Dari mana beliau tahu? Apa Arif menceritakan soal aku?’’ Aku  tak menjawab pertanyaannya, malah termenung terayun dalam lamunanku. Seketika suara panggilan ibu itu mampu membuyarkan lamunanku.

‘’Nak, kamu kenapa?’’ ibu itu menatapku heran.

‘’E—ehh. Ma'af, nggak apa-apa kok, Bu.’’ ucapku gugup.

‘’Syukurlah kalau begitu, jadi kamu nggak kenal dengan Lala itu? Dia ngampus di sini juga kok,’’ ulangnya kembali.

Lagi-lagi ibu itu bertanya. Apa aku jujur saja ya? Oke, tak apa-apalah siapa tahu ada informasi atau kabar mengenai bang Arif. Karena akhir-akhir ini aku tak tahu bagaimana kabarnya. Aku sungguh mengkhawatirkannya, aku sungguh merindukannya.

‘’Maaf, maaf sekali lagi, Bu. Se—sebenarnya....’’ ucapanku terhenti.

‘’Sebenarnya apa, Nak?’’ Ibu itu bingung menatapku.

‘’Sebenarnya aku yang bernama Lala itu. Maaf ya, Bu.’’ ucapku lirih dan aku merasa bersalah sekali.

‘’Nggak apa-apa, Nak.  Yang penting sekarang Ibu sudah menemukanmu. Ada sesuatu untuk kamu. Titipan dari Nak Arif. Dia menitip ini ke ibu,’’ ucap ibu itu yang bergegas melangkah menuju ke dalam rumahnya mengambil sesuatu, lalu bergegas menyodorkannya kepadaku.

‘’Ibu sengaja menyimpan di dalam rumah, agar nggak hilang. Ambil-lah!’’ sambil menyodorkannya kepadaku. Seketika aku heran. Perlahan kuraih dengan wajah kebingungan.

‘’Iya, makasih banyak, Bu. Oh ya, belanjaanku tadi mana, Bu?’’

‘’Astaghfirullah! Sampai lupa Ibu. Gara-gara asyik bercerita dengan kamu, Nak. Maaf ya. Sebentar,’’ ucap ibu itu.

‘’Nggak apa-apa kok, Bu.’’ ucapku sembari tersenyum.

‘’Ini sambalnya, Nak,’’ sembari menyodorkan bungkusan plastik yang berisi sambal itu.

‘’Berapa, Bu?’’ tanyaku.

‘’Untukmu gratis aja, Nak. Bawalah, Ibu ikhlas kok,’’ ucap ibu itu menatapku.

‘’Alhamdulillah. Beneran nih, Bu? Makasih banyak ya bu.’’ ucapku semringah.

‘’Iya, Nak. Beneran, sama-sama,’’

‘’Kalau gitu, aku pulang dulu ke kos. Sekali lagi makasih, Bu.’’

‘’Iya, Nak. Sama-sama. Hati-hati di jalan ya,’’ Aku pun mengangguk lalu tersenyum.

Aku segera melangkahkan kaki menuju kos, di perjalanan teringat olehku dan rasa penasaranku kian menjadi. Kira-kira apa isinya ya yang dititipkan bang Arif ke ibu bosnya untukku, tetapi kenapa agak lain rasa hatiku ini sekarang? Ya Robbi, mudah-mudahan dia dalam kedaan baik-baik saja.

*
‘’Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di kos. Perut lapar banget rasanya. Tapi aku penasaran juga dengan isi amplop ini.’’ tak putus-putusnya mataku memandangi amplop yang tengah kugenggam.

Aku pun memutuskan untuk membukanya dengan perlahan. Karena penasaranku yang kian membuncah.

Ya Robbi! Astaghfirullah ‘al adziim. Surat undangan? Seketika mataku terbelalak menatap isi amplop, dadaku terasa sangat sesak. Hati ini terasa remuk. Apa Bang Arif mau menikah dengan perempuan itu?
Aku bergegas membuka dan memasang penglihatan baik-baik, lantas mencoba membaca namanyadengan baik.

‘’Muhammad Arif dan Nabila Syafitri?’’

Allah! Seketika tubuhku sangat lemas rasanya. Tak terasa buliran air mataku terus mengalir begitu saja. Sekarang, seakan semua tulangku terlepas dari tubuh.

Apa aku salah baca? Kuulangi beberapa kali tetap saja nama itu tertulis di sana.

‘’Ya Robbi, nggak menyangka hamba selama ini.’’ lirihku di sela isakan tangis. Kuseka buliran air mata dengan kasar.

Kulihat ada surat kecil yang terselip dekat surat undangan itu, kuambil dan membacanya.

(‘’Assalamua'laikum, La. Maafkan Abang, pasti La teringat dengan janji Abang dulu. Bang harap La mendapatkan yang lebih baik daripada Abang ya dan Bang juga berharap La hadir di saat acara pernikahan Bang nantinya. Maafkan Abang,’’) buliran air mataku jatuh kembali dan semakin deras setelah membaca tulisannya di secarik kertas itu.

Aku menangis sejadi-jadinya, tak bisa lagi menahan semua rasa perih di hatiku ini. Hatiku rasanya bak pecah berkeping-keping, hatiku sangat hancur.

Ya Robbi. Maaf katanya? Semudah itu dia meminta ma’af kepadaku? Ya Robbi ternyata dia benaran nikah, janjinya selama ini semuanya hanyalah dusta semata. Memang benar, yang paling sakit rasanya adalah berharap kepada manusia. Ampunilah hamba-Mu ini Ya Allah!

Mungkin ini yang terbaik, aku tak mau terus-terusan begini. Mungkin dia bukan jodohku. Bergegas kuambil surat kecil itu, lalu kubuang dengan kasar ke tempat sampah. Kuseka buliran air mataku perlahan dan menghenyak di ranjang.

Bersambung.

Instagram: n_nikhe❤

Salahkah  Aku Mencintaimu? (Revisi/Otewe Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang