17. Menghindar

637 46 9
                                    

Hembusan angin menerpa daun yang melambai-lambai. Membunyikan serangga malam di alam yang sunyi. Remang-remang cahaya bulan menjadi pencandu hati. Menyaksikan hewan noktural sebagai tanda malam berganti.

Diantara rimbunan pepohonan. Kedua insan bersujud menghadap rabb-Nya. Berlindung diri dari mara bahaya. Dan mendekatkan diri kepada-Nya

Disinilah rahman dan sabya saat ini. Di atas batu besar dengan pakaian seadanya. Mereka tak melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Dengan sorban sebagai atasan dan sarung rahman sebagai bawahannya. Sabya dapat menutup auratnya. Hal ini semata-mata dilakukan rahman untuk memulai membimbing sabya.

Meskipun sebelumnya ada prasangka negatif dari sabya yang membuatnya salah tingkah. Sabya tak menyangka bahwa rahman masih memakai celana panjang sebagai dalamannya. Dan itulah membuatnya mengutuk pikiran negatifnya.

Selepas sholat isya'. Rahman dan sabya duduk didepan kayu bakar tuk menghangatkan dirinya. Dengan beberapa buah pisang sebagai pengganjal perutnya.

Sabya amat bersyukur. Di hutan berantara ini dia dapat mempelajari sedikit demi sedikit ilmu yang ditanamkan suaminya. Meskipun tanpa paksaan dirinya dapat mempelajarinya.

"Rahman" Panggil sabya.

"Iya?" Kata rahman membenarkan kayu bakarnya.

"Hubungan kita kan sekarang udah membaik.. bagaimana kalo kita mulai yang sederhana dulu?" Kata sabya was-was.

"Aku setuju.. kamu ingin kita memulainya darimana?" Kata rahman.

"Ehm.. bagaimana kalo kita-" Kata sabya dengan senyum yang ditahan dan semburat merah menghiasi pipinya.

Namun ekspresi itu tak berlangsung lama ketika rahman memotong pembicaraannya.

"Tunggu.. bagaimana kalo kita buat nama sebutan?" Kata rahman mengejutkan sabya.

"Maksudnya?" Kata sabya linglung.

"Misalnya.. ayah-bunda.. abi-umi.. mama-papa atau apalah" kata rahman.

"Oh itu.. terserah kamu deh.. maunya dipanggil apa?" Kata sabya.

"Oppa" kata rahman.

"Udah punya cucu dong" kata sabya.

"Ck.. itu oppa sebutan dalam drakor yang kamu suka" kata rahman.

"Bwaahahha.. kalo kamu minta itu yang ada kamu dikira kakek aku" kata sabya.

"Terus apa? Keren sebutan itu" Kata rahman duduk disamping sabya.

"Yang simple aja ya?" Kata sabya.

"Terserah" kata rahman merajuk.

"Karna keluarga kamu dari jawa, bagaimana kalo kita Mas-Adek aja" kata sabya.

"Gak.. aku tak setuju.. istri.. ini beda ceritanya.. aku bukan kakak kamu" kata rahman.

"Loh.. bukannya kamu lebih tua dariku" kata sabya.

"Tau.. sebutan itu terlalu kuno" kata rahman.

"Minta kamu apa?" Kata sabya.

"Ya udah itu aja" kata rahman tak ambil pusing.

"Ck gimana sih tadi menolak mentah-mentah sekarang diiyain" kata sabya.

"Hehhe.. afwan ya zaujati" kata rahman.

"Serah" kata sabya terlanjur kesal.

Tak ada percakapan lagi antara keduanya. Rahman sibuk dengan kayu bakarnya. Sedangkan sabya melihat sekelilingnya.

SABYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang