CAPT 22

13.2K 472 22
                                    

Happy reading ✨



*****

"Ya ampun Non Dinda, si mbok telepon gak diangkat-angkat. Si mbok khawatir Non," Ucap mbok siti -pembantu keluarga Dinda. Mbok siti berjalan kearah Dinda yang dibopong Rifaldi. "Kaki Non Dinda kenapa?"

Sebelum Dinda menjawab Rifaldi sudah terlebih dulu bicara, "Maaf mbok, tadi gak sengaja keserempet,"

"Ya ampun! Yaudah tolong bawa Non Dinda nya masuk," Histeris mbok Siti, "Mbok abil kotak obat dulu sambil bikinin minum buat Den ini,"

Rifaldi mengangguk, ia membawa Dinda masuk kedalam rumahnya lalu mendudukkan Dinda di sofa ruang tamu, "Gue minta maaf udah bikin kaki lo luka. Kalo musti dibawa kerumah sakit lo bilang aja nanti biayanya gue yang tanggung. Gue pamit pulang,"

Dinda mencekal pergelangan tangan Rifaldi, "Duduk dulu kak, mbok lagi bikinin minum,"

"Makasih, tapi gue bisa minum dirumah." Putus Rifaldi, ia melepaskan tangan Dinda yang mencekal tangannya. Rifaldi mulai melangkah menuju pintu, sebelum benar-benar pergi ia menyempatkan untuk menengok kearah Dinda. Sebenarnya tidak tega meninggalkan Dinda tanpa mengobati lukanya, tapi Rifaldi punya tugas lain yang lebih penting daripada itu. Yaitu menjaga hati dan perasaan Syila terhadapnya.

"Gue pamit. Get well soon," Rifaldi benar-benar pergi dan tidak terlihat peduli. Dinda menyayangkan niatnya karena sudah mencelakai dirinya sendiri. Dinda pikir dengan begini Rifaldi akan sedikit luluh kepadanya, tapi ternyata tidak. Benar kata Ajida, sulit baginya untuk mendekati Rifaldi.

"Loh Non, si Den gantengnya kemana toh?" Tanya mbok Siti yang datang membawa kotak berwarna putih dan satu gelas air.

"Pulang," Jawab Dinda lesu. Bukan hanya lututnya yang sakit, hatinya juga ikut sakit. Dinda harus melakukan hal apalagi untuk membuat Rifaldi menengok kearahnya? Apa Dinda harus lenyap terlebih dulu agar Rifaldi mengakui keberadaannya?

"Yaudah, sini kakinya si mbok obatin,"

Dinda melirik mbok Siti, "Yang sebenernya sakit itu bukan lutut mbok, tapi hati."

*****

Sesampainya dirumah Rifaldi langsung masuk kedalam kamarnya untuk mandi. Ada sedikit rasa bersalah atas sikapnya kepada Dinda. Ia benar-benar tidak bertanggung jawab atas ulahnya.

"Kenapa gue harus mikirin cewek itu?" Tanyanya bermonolog. Tidak Rifaldi tidak memikirkan Dinda seperti ia memikirkan Syila, tapi Rifaldi memikirkan Dinda karena ia khawatir perempuan itu terluka karenanya.

"Lagian kenapa harus dia? Kenapa dia terus? Dunia sesempit ini ya?"

"A, aa ngomong sama siapa?" Linda mengetuk pintu kamar mandi Rifaldi. Ia tadi mendengar suara motor dan suara derap langkah seseorang tapi tidak menemukan siapapun.

"E- sama shower mah," jawab Rifaldi gelagapan.

"Ada-ada aja aa ini.. kalo udah selesai mandinya keluar kita makan bareng,"

"Siap ratu!"

Linda terkekeh anaknya ini ada-ada saja kelakuannya.

*****

Bel sejak tadi terus saja berbunyi. Syila mengernyitkan dahi. Memang tidak ada yang membukakan pintu apa? Syila cukup malas untuk beranjak dari kasur empuknya.

"Ck! Gak tau apa part ini lagi seru-serunya," dumel Syila sambil menutup laptopnya.

Syila berjalan malas menuruni tangga. Sudah terbiasa dalam rasa sepi membuat Syila tidak takut jika sewaktu-waktu ia ditinggal sendiri dirumahnya yang besar ini.

KETUA BASKET VS BADGIRL [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang