15| Kepak Maut

87 23 12
                                    

|22 Mei 2020|

Coba deh bacanya yang serius. Siapa tau nagih dan bikin penasaran.
Playing now [Rewrite the Stars - Anne Marie & James Arthur]💞

________

Bagaimana bisa aku acuh jika penderitaanmu adalah sesak di dadaku sendiri?
________

Setelah kurang lebih 12 jam tak sadarkan diri, akhirnya Dito siuman saat Ajun tengah mengelap badannya. Jika didefinisikan, detik-detik Ajun menyaksikan papanya bangun adalah momen paling membahagiakan. Apalagi hanya perlu beberapa detik bagi Dito untuk mengenali putranya dan kembali berbicara dengan normal.

Hal pertama yang Ajun lakukan adalah meminta maaf. Memohon ampun atas kelancangannya tadi malam, atas kepergiannya sebelum mendengar penjelasan, atas apa yang menimpa Dito, sebab, Ajun yakin pemicu sakit papanya tak lain karena ulah putranya sendiri.

Pukul sembilan malam, Daryan, adik Dito dari Bogor datang beserta seorang mamang-mamang. Sengaja Daryan mengajaknya untuk ikut bantu-bantu mengurusi keperluan Dito. Alhasil malam itu empat pria dari bermacam generasi berkumpul, membicarakan banyak hal yang sifatnya kecowokan.

Barulah pukul sebelas malam, Ajun keluar untuk mengganti pakaian. Ia menukar pakaian dengan kaos putih panjang dan celana training sebelum meminta izin pergi ke kantin. Ajun tahu ini sudah di luar batas, tahu jika sebenarnya tak mampu. Setelah menghabiskan semangkuk mie, Ajun meletakkan kepalanya di atas meja untuk tidur barang lima menit.

Sejak kecil Ajun memang punya bermacam gangguan tidur. Mulai dari insomnia, mimpi buruk, sampai peristiwa yang oleh sebagian orang sering dikaitkan dengan hal mistis alias tindihan. Jadi, jangan salahkan Ajun kalau sering tidur di kelas. Ajun melakukannya demi memperoleh waktu tidur yang berkualitas.

Waktu tidur yang kurang efektif acap kali membuat Ajun berhalusinasi. Seperti sekarang ini. Ia sampai bisa merasakan belaian lembut di kepalanya. Bahkan, tangan hangat itu mulai mengelap keringat di keningnya dan menyisir rambutnya dari depan ke belakang secara berulang-ulang. Diam-diam Ajun tersenyum. Kalau pun itu mimpi, maka Ajun tak keberatan untuk tidur lebih lama lagi.

"Be brave, Jun."

Kali ini Ajun benar-benar mengangkat kepalanya demi memeriksa siapakah pemilik suara yang begitu nyata itu.

"Sorry-sorry, lo jadi kebangun ya."

Senyumnya menawan.

"Gue tau dari semalem lo belum tidur. Tidur lagi aja."

Nada bicaranya manis.

"Ngapain lo ke sini?"

Kalau tadi Ajun memujinya dalam hati, sekarang tak ada alasan untuk bersikap manis.

"Ngapain malem-malem di sini?" lanjut Ajun, bahkan sebelum yang ditanya sempat menjawab pertanyaan pertama.

Selarut ini bukan waktu bagi seorang gadis untuk bebas keluyuran. Ajun celingukan kesana-kemari, berharap gadis itu datang bersama seseorang, namun sepi. Nyaris tak ada siapa pun selain penjual kantin yang sudah berbeda orang dari sebelum Ajun tidur.

"Santai aja. Gue nggak sama Awan kok."

Bukan jawaban itu yang Ajun harapkan. Justru akan lebih baik kalau ia datang bersama Awan, biarpun nantinya akan ada adu jotos ronde kedua.

Sekarang Ajun buntu harus berbuat apa. Bingung bagaimana menangani gadis yang telah menyingkap keringatnya dengan tangannya sendiri. Dan itu ia lakukan tanpa rasa risih.

Juni Katastrofe [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang