24| Tak Pernah Tahu

62 19 17
                                    

[20 Juni 2020]

Coba deh bacanya yang serius. Siapa tau nagih dan bikin penasaran. Playing now [Intuisi - Yura Yunita]💞

________

Ajun menemukan dua kardus besar berisikan barang-barang Lea teronggok di teras rumahnya. Setelah diperiksa, kotak itu masih tersegel rapi. Lea bilang isinya barang-barang berharga dari rumah lamanya di Jakarta. Lea berniat menitipkannya pada Ajun selama ia masih di Michigan.

"Gimana Jun, ada nggak?"

"Ada kok."

Ajun melirik arlojinya. Waktu kian jauh meninggalkan tengah malam.

"Maaf ya jadi ganggu waktu kamu di puncak. Kotak itu isinya barang-barang penting."

"Nggak masalah Le."

Jauh di seberang benua sana, Lea menggigit bibir bawahnya. Ajun telah banyak berubah. Sedari tadi cowok itu hanya meresponnya dengan kalimat-kalimat singkat.

"Jun, aku udah nggak sepenting itu ya?"

Nafas Ajun memberat. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan tercetus dari bibir Lea. Tapi bagaimana lagi, bibit cintanya untuk Lea benar-benar telah mati. Ajun ingin fokus merawat bibit baru yang lebih berpotensi untuk tumbuh subur.

"Le..."

"Bercanda, Jun."

Terdengar kekehan ringan di sana, tapi Ajun tahu, bercanda sama sekali bukan gaya Lea.

"Aku tutup ya?"

"Ya."

"Oke, aku tut–"

"Tunggu Le!" sergah Ajun sebelum gadis itu menutup panggilan.

Ajun tidak tahu jika larangan kecil darinya berhasil mengukir senyum seorang Lea di sana. Seakan Ajun masih ingin berlama-lama mendengar suaranya. Ya, itu hanya asumsi Lea.

"Ada apa?"

"Kamu tahu aku di puncak dari mana?"

"Dari Awan. Tadi aku sempat teleponan sama Awan, tapi dia nggak bawa kendaraan katanya. Jadi aku telepon kamu."

"Oh, oke."

Tanpa sadar tangan Ajun bergerak memutus panggilan lebih dulu. Sungguh, ia tidak sadar.

Ajun sudah cukup lelah untuk berpikir mengenai banyak hal. Ia membawa dua kotak itu sekaligus ke dalam agar bisa lebih cepat memeluk guling. Kantuknya sudah mencapai stadium akhir.

***

Ternyata Awan tak pernah benar-benar siap melepas Juni. Buktinya ia masih ingin lari, masih ingin memalingkan muka saat Juni dan adiknya bernyanyi bersama di atas panggung. Bagi Awan tidak ada gunanya terus memasang topeng dan menjadi munafik dengan bersikap seolah tak pernah terjadi apa pun. Ada kalanya orang sedih harus mengekspresikan kesedihan mereka, meski sendirian.

Detik ketika Juni mulai memperdengarkan suaranya, Awan memilih pergi menemui Raymond. Sekbid seni itu selalu membawa rokok dan korek kemana-mana. Awan mencari orang yang akrab disapa Rey itu hanya demi sebatang atau dua batang rokok darinya. Lalu secara diam-diam, Awan membakarnya dan menghisapnya di belakang penginapan. Ia perlu menyendiri. Menenangkan badai yang kembali datang.

Entah kenapa, hanya ada satu nama yang terlintas di benak Awan untuk ia hubungi saat ini. Sebuah panggilan luar negeri.

"Hallo?"

Juni Katastrofe [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang