37| Sebuah Cerita (2)

32 15 4
                                    

Juni tak tahu apa yang membuat Sydney dan Ajun jadi seserasi ini. Keduanya benar-benar saling melengkapi. Biarpun Sydney adalah kota impian Juni sejak kecil, tapi tempat itu jadi seistimewa sekarang berkat keberadaan Ajun.

Seperti tak pernah tidur, Sydney tetap ramai biarpun malam sudah mendekati larut. Ajun berjalan santai dengan Juni yang memakan burger di belakangnya.

"Enak?"

"Hm?" ulang Juni lantaran sedang asik-asiknya dengan makanannya.

"Punya kamu udah habis?" Juni menginterupsi dengan cepat setelah menyadari Ajun telah kembali mengantongi kedua tangannya.

Ajun gelagapan. Ia pikir dengan menghabiskan burgernye lebih cepat, akan lebih cepat pula baginya untuk mendengar cerita Juni yang gadis itu janjikan lebih dari satu jam yang lalu. Tapi sepertinya Juni memang sengaja mengulur waktu.

"Habis ini kita langsung pulang ke wisma aja, ya? Aku ngantuk."

Ajun tersenyum kecil lalu mengangguk tanpa ragu. Namun anggukan itu justru mempermainkan perasaan Juni. Sesabar itukah pria bernama Ajun? Padahal ia telah menjanjikan sebuah cerita sebelumnya.

"Habis aku cerita sebentar," lanjut Juni sebelum menggigit potongan terakhir burgernya.

Kini giliran Ajun yang terkejut. Keduanya sama-sama merasa bersalah setelah diam-diam saling menuduh.

Sementara itu, di tanggal dan bulan yang sama, di generasi yang berbeda, seorang pria tampan dengan jasnya yang hanya dikancing satu berjalan tak tentu arah setelah berusaha kabur dari penginapan. Di usianya yang baru delapan belas tahun, tenaga dan pikirannya telah diperas seperti pria beruisia tiga puluh tahun.

"Mau air?"

Sebotol air mineral terulur setelah jeda langkahnya yang kesekian. Orang yang mengulurkan air itu seperti telah mengawasinya sejak lama dan mengerti apa yang ia butuhkan.

"Tidak, terima kasih," tolak si pria kemudian melanjutkan langkah yang entah akan berakhir di mana.

Namun setelah penolakan spontan itu, si pria justru terbelalak. Ia baru saja berbicara dengan bahasa Indonesia padahal masih berada di Sydney. Tapi tunggu, ia tidak salah. Bukankah sebelumnya orang yang menawarinya minum juga menggunakan bahasa Indonesia?

Pria itu menoleh dan mendapati si pengulur air masih di sana dan tengah meneguk sendiri air mineral yang batal diberikan ke orang lain. Seorang gadis dengan rambut sepunggung yang dikuncir satu.

"Kenapa? Berubah pikiran?"

Pria menyedihkan itu menggeleng, "Kamu orang Indonesia?"

"Ya, seperti kamu."

"Kamu ... tahu saya masih delapan belas tahun?"

Gadis itu diam sejenak lalu terbahak.

"Baru kali ini ada cowok yang di kalimat pertamanya nggak ngajak aku kenalan," gadis itu menjeda hanya untuk memperhatikan penampilan si pria dari ujung rambut hingga ujung sepatu, "tunggu, kamu itu kayak, em, anak 15 tahun yang nyuri baju bapaknya."

Mendengarnya, pria itu melotot tak terima, "Heh–"

"Bahkan kamu kalah tinggi dari aku."

"Itu karna sepatu jinjitmu," Si pria masih tak terima.

"Oh ya?"

Tanpa pikir panjang, gadis itu melepas sepatu tingginya dan menghampiri lawan bicaranya dengan langkah gancang.

Juni Katastrofe [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang