36| Sebuah Cerita (1)

36 17 2
                                    

Jam delapan malam setelah selesai menyantap makan malam, Mita mengumpulkan Juni dan Ajun di lantai bawah. Dua remaja itu duduk bersebelahan sambil menikmati kacang panggang.

"Ini jadwal perjalanan kita dari atasan gue," ucap Mita sambil sibuk meliukkan dua ibu jarinya di atas layar ponsel.

Tak lama kemudian, ponsel Juni dan Ajun berbunyi secara bersamaan. Ajun mengeluarkan ponselnya sedang Juni memilih untuk mendekatkan kepalanya pada bahu Ajun demi mengintip apa yang dikirim Mita melalui ponsel pria itu. Mita menggeleng takjub. Bahkan, dua bocah itu punya cara agar bisa menikmati segala sesuatunya bersamaan, termasuk melihat jadwal perjalanan.

"Yah, aku kira tempat pertama yang bakal kita kunjungi Opera House," gumam Juni yang hanya mampu didengar oleh Ajun.

"Menurut jarak, seharusnya kita ke Opera House dulu, " tutur Ajun, menyampaikan keinginan tersirat Juni secara gentle.

"Gue baru mau bilang, kita nggak keberatan kok kalau harus rombak total jadwal. Iya nggak, Beb?" Mita meminta persetujuan Sabda.

"Yap, kalau perlu kita tambahin destinasi lain. Gue akan dengan senang hati ngeluarin duit pribadi buat kita jalan-jalan," Sabda menambahkan.

"Suami gue tajir melintir by the way."

"Bukannya kalian kerja?"

Mendengar cicitan Juni yang bernada khawatir membuat Mita mengeraskan tawa.

"Asal kalian tau, gue sama Sabda cuma iseng ikut kerjaan ini. Bahkan, agensi tempat kita kerja sekarang bisa dibeli sama Sabda kalau dia mau."

"Kalian nggak usah kaget. Bini gue selain jago gambar baju sama main voli juga punya bakat sombong yang natural."

"OMG, lo designer?"

"Ya. Kita lagi cari pengalaman jadi bawahan. Supaya tahu gimana suka dukanya jadi bawahan."

"Dengan tujuan?"

"Nggak semenan-mena sama bawahan."

"Gue makin kagum sama lo," ungkap Juni takjub.

"Tapi dengan seenaknya ngerubah aturan, kalian udah melanggar kode etik sebagai bawahan," serang Ajun padahal tadi ia yang mengusulkan agar ke Opera House lebih dulu.

Selesai untuk malam ini. Setelah sepakat tidak ada perubahan jadwal, Mita naik ke kamar atas untuk beristirahat. Sementara Sabda masih tertahan menemani Ajun dan Juni bermain poker.

"Ehem," Sabda berdeham, "tadi sore lo langgar peraturan Mita, kan, bro?"

Bro?

Merasa terpanggil, Ajun menoleh dan menghentikan permainan pokernya secara sepihak. Dua alis pria itu saling tertaut, tanda bahwa ia tak mengerti apa yang coba disampaikan oleh Sabda.

"Lo naik ke balkon kamar Juni diem-diem."

Kali ini bukan hanya Ajun, Juni pun ikut menoleh dengan mata membelalak. Jika Sabda tahu Ajun naik ke balkon kamar Juni diam-diam, itu artinya Sabda juga melihat semuanya. Termasuk...

"Santai aja lagi. Gue langsung buang muka kok."

Ajun dan Juni kompak melenguh lega.

"Buang muka, tapi matanya tetep ngelihatin."

"Nggak-nggak. Canda aelah," sambung Sabda ketika muka Juni dan Ajun sudah sama-sama memerah, "sana keluar jalan-jalan! Gue juga mau naik ke kamar Mita. Emang kalian aja yang bisa langgar aturan."

***

Jika Ajun ke Sydney, mana mungkin Awan tetap bertahan di rumah selama liburan bersama para pekerja yang bahkan takut untuk menyapa tuan mereka sendiri. Awan juga ingin liburan. Michigan menjadi tujuannya. Selain kunjungan rutin ke orang tua, ada hari spesial di bulan Juni ini bagi Lea. Ajun datang untuk melihat secara langsung pementasan teater gadis blasteran itu.

Juni Katastrofe [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang