[11 Juni 2020]
Coba deh bacanya yang serius. Siapa tau nagih dan bikin penasaran. Playing now [Tak Terima - Donne Maula & Sheila Dara]💞
________
Melepas tanpa pernah memiliki. Sesak tanpa pernah menghirup. Koyak tanpa pernah utuh. Bagaimana rasa bisa sebercanda ini? Bagaimana cinta bisa menerbangkan dan menjatuhkan sesebentar ini?
Gulungan kecil berasap itu bukan sengaja dijatuhkan, melainkan terjatuh setelah sosok Juni muncul dari ujung lorong. Gadis itu menyapa Daka, mendengar ketuanya berkata-kata, lalu tersenyum setelah tanpa sengaja bertubruk pandang dengan Awan. Jatuh tanpa sengaja berarti keberuntungan. Setidaknya gadis berkuncir kuda itu tidak memergoki Awan tengah merusak tubuhnya.
Seulas senyum terbit di bibir Awan kala kebisingan pertama paginya berasal dari Juni. Entah perkataan Daka yang seperti apa, entah perintah Daka yang bagaimana, namun Awan berterima kasih. Berkat Daka, Awan bisa menikmati dumelan Juni meski dari kejauhan.
Andai Tuhan mau sedikit berbelas kasih pada pelaku cinta sendirian seperti Awan, mungkin menyapa Juni tidak akan seberat mengakhiri hidup sendiri. Awan terlalu takut untuk bermain-main dengan maut. Ia telah sampai di ambang jurang setelah mengejar tanpa yang dikejar pernah terkejar. Sekali lagi melangkah, maka Awan akan jatuh ke dasar yang paling dasar.
Awan ingin tetap di sini. Terpaku diam menatap Juni di seberang. Awan ingin tetap di sini, duduk di atas motornya sampai Juni bertolak tanpa pernah menoleh ke arahnya lagi. Namun seerat apa pun Awan mendekap doa, Tuhan bahkan tak perlu menjetikkan jari untuk mengatur sekenario bagi Awan.
Dengan langkah setengah meloncat, Juni berlarian mendekati Awan. Kuncir kudanya sampai terayun ke kanan dan ke kiri. Juni tersenyum ringan, sangat ringan, tanpa pernah tahu seberat apa Awan menahan diri agar tidak sampai membalas senyumnya.
"Selamat pagi, calon imam."
Pagi ini, untuk pertama kalinya Awan tak merasakan hangatnya kalimat itu. Hanya dingin. Dingin yang kian dingin hingga akhirnya benar-benar membeku.
"Kok calon ketos diem aja? Gugup ya? Tenang, LDK-nya nggak akan aneh-aneh kok," cerocos Juni tanpa sebentar saja menanggalkan senyum di bibirnya.
"Senyum lo manis, Juni."
"Bilang ke Daka, gue mau tuker mentor."
Alih-alih pernyataan manis tentang senyum Juni, kata-kata meremukkan justru keluar dari mulut Awan.
"Wan?" Juni yang menyebut pelan sepenggal namanya semakin membuat Awan tak keruan.
Awan ingin menyudahi semua ini. Ingin mengacak kepala Juni lagi, menjahili gadis itu lagi, dan menggenggam tangannya lagi. Tapi terlalu jahat untuk melakukannya. Semesta yang satu ini sudah menjadi milik Ajun, milik adiknya.
Awan beranjak dari motornya dan menciptakan jarak sejauh mungkin.
"Awan, lo mau kemana?"
"Lo nggak mau bilang, kan? It's okey, biar gue sendiri yang bilang."
"Awan, gue nggak suka bercanda lo. Sumpah bercanda lo yang ini nggak asik."
Susah payah Awan menghindar, Juni justru mengekor langkahnya. Akhirnya Awan berhenti lalu menatap Juni dengan satu tarikan napas.
"Berhenti. ikutin. gue," tegas Awan penuh penekanan.
Juni terhenyak.
"Wan, lo kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni Katastrofe [End]
Teen FictionKatastrofe pertama Juni terjadi tujuh belas tahun selang kelahirannya sebagai bulan yang menahtai hari-hari cerah. Para pewaris Gerodito telah datang. Ibarat satu formasi, Ajun dan Awan adalah guruh dan hujan yang kompak mengacaukan teriknya dataran...