39| Can You Wait for Me?

51 15 7
                                    

|Hari Ibu, 2020|

________

Malam terakhir di Sydney, otak Juni menolak untuk diistirahatkan. Sebenarnya bukan hanya Juni, melainkan tiga penghuni wisma lainnya juga terserang insomnia mendadak. Bahkan, keempatnya sepakat untuk begadang saja malam ini.

Sabda telah melanggar peraturan yang dibuat oleh Mita di hari ketiga mereka berada di Sydney. Dan sialnya, Mita seolah tidak mempersalahkan hal tersebut lantaran hubungan mereka yang sudah sah. Sekarang ini keduanya tengah menonton film horor sambil menyandarkan kepala satu sama lain.

Di sisi lain, Juni sibuk menata kembali tas-tas berisi oleh-oleh yang telah mereka beli sore tadi. Hanya Ajun yang menganggur malam ini. Pria itu duduk di depan jendela yang terbuka, membuat udara dingin di luar menyelinap masuk dan menggigilkan Juni. Entah apa yang Ajun pikirkan. Ia menjadi berbeda semenjak keluar dari kamar maghrib tadi.

Juni belum sempat berbicara secara khusus. Hanya bertanya ala kadarnya dan kembali menata barang-barang setelah gelengan Ajun yang kedua kali.

"Juni," panggil Ajun pada akhirnya.

Pria itu turun dari jendela dengan bibir sepucat mayat. Juni mendekat, menyentuh tangannya, dan terperangah kemudian. Tangan Ajun benar-benar dingin.

"Tolong tutup jendelanya."

Juni mengangguk dan segera menutup jendela sementara Ajun berpindah ke dekat perapian.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

Ajun menggeleng lalu meraih kedua tangan Juni. "Apa semua perempuan perlu kepastian?"

"Arah pembicaraan kamu kemana, sih?" tanya Juni sambil menukar posisi tangannya. Kini Juni lah yang menggenggam tangan Ajun. Tangan pria itu berangsur-angsur menghangat biarpun masih layak disebut dingin.

"Aku nggak tahu pada akhirnya kita akan kemana. Kalau ujungnya aku nggak bisa, apa kamu tetep mau nunggu?"

Film yang ditonton Sabda dan Mita semakin seru. Teriakan-teriakan Mita yang selalu diredam Sabda benar-benar menguntungkan Juni. Ia tak perlu memelankan suara dan sembunyi-sembunyi untuk pembicaraan yang sepertinya akan serius ini.

"Tergantung kamu," Juni menjeda kalimatnya demi sekedar memperbaiki suara yang mulai serak, "kamu ada usaha nggak bikin ujungnya jelas?"

Ajun terdiam. Bukan tak bisa menjawab, melainkan tidak ingin menjawabnya. Bahkan jika sekarang Ajun sedang berada di fase mengusahakan itu sendiri, ia tak ingin Juni tahu bagaimana sulitnya. Ajun ingin Juni menunggu di tempat yang nyaman selagi ia berjuang. Ajun hanya takut jika Juni berlari bersamanya, ia tak cukup kekuatan untuk menyelamatkan dua nyawa sekaligus.

Dan, pada akhirnya permainan ini akan selesai tanpa kemenangan di pihak mereka.

"Kamu nggak bisa nunggu, ya?"

Ya, Ajun tahu, sepanjang waktu penantian itu, Juni juga tidak akan selalu baik-baik saja. Ia akan mengalami masa-masa jenuh dan lelah.

"Ajun, kamu ngomong apa, sih? Kamu mau kemana?"

"Aku nggak kemana-mana."

"Terus?"

Ajun menggeleng lagi. Memilih diam dan menatap wajah Juni selama yang ia sanggup. Sedangkan di tempatnya, Juni dibuat bingung bukan main.

"Aku mau kamu janji."

"Janji apa?" sambar Juni segera. Ia telah menantikan kalimat Ajun sejak tadi.

"Jadi lulusan terbaik tahun depan, masuk kampus impian, kerja, dan bahagian Ayah."

Juni mengangguk mantap, bahkan mengulurkan kelingkingnya lebih dulu. Ajun menyambutnya dan tersenyum. Untuk beberapa saat, mereka masih mempertahankan posisi itu dengan saling tatap.

"Kita ketemu lagi setelahnya," lanjut Ajun dengan susah payah.

"Maksud kamu?" Juni menggeleng, berusaha menepis pikiran buruk di kepalanya.

"Maaf nggak bisa kasih kepastian sekarang. Kamu boleh sama yang lain kalau emang capek nunggu."

"Kamu mau kemana?" rengek Juni lirih sambil mengguncang-guncang lengan Ajun.

"Nggak ke mana-mana. Aku ada. Aku awasin kamu."

"Nggak bisa, Jun. Kamu harus jelasin sejelas-jelasnya. Ada apa?"

Ajun terkekeh. "Serius amat? Nggak, nggak ada apa-apa. Tidur sana! Katanya besok mau pergi sama Tante Andin."

"Tapi kamu aneh, Ajun."

"Nggak ah. Aneh apa?"

"Kamu mabuk, ya?"

"Mana ada. Udah sana, naik."

Juni tak punya pilihan selain mengangguk lalu berdiri dari kursinya, meninggalkan Ajun yang mulai mengubah arah menjadi menghadap perapian. Juni tersenyum sebentar sebelum memutuskan untuk mengecup pipi Ajun diam-diam.

Ajun bergeming. Ia hanya tersenyum kemudian mengacak rambut Juni sebelum mengucapkan selamat malam dan menyuruh gadis itu untuk tidur.

***

Keesokan harinya, Andin menepati janji untuk menjemput Juni sebelum putrinya itu kembali ke Jakarta.

Tak disangka, gadis 17 tahun itu bahkan sudah menunggunya di depan wisma dengan hoodie tebal pemberiannya. Senyumnya manis, mengingatkan Andin akan seseorang yang bertahun-tahun tak lagi di sampingnya.

"Udah siap, sayang?"

"Udah, Ma. Ayok!" Juni menggandeng lengan Andin menuju mobil yang dikendarai tanpa supir dan pengawal seperti sebelumnya.

Perjalanan mereka tak memakan waktu lama. Setelah 20 menit, mereka tiba di tanah lapang yang dikelilingi tembok batu berukuran besar. Juni melangkah antusias mendahului Andin dan berhenti di sebuah gundukan dengan bunga lily yang mulai layu.

"Ibu, Juni sama Mama datang lagi," ucap Juni sambil mengusap gundukan itu dengan tersenyum manis.

Andin ikut tersenyum melihatnya. Senyum itu benar-benar mirip dengan senyum adiknya, Aggiest. Luka tiga tahun sepeninggal Aggiest langsung terobati begitu Andin melihat senyum lugu Juni malam itu. Semesta memang ajaib dan penuh kejutan. Andai dompetnya tak terjatuh malam itu, mana mungkin ia bisa bertemu dengan keponakan tersayangnya.

"Sekarang Juni udah nggak nangis lagi, Bu. Juni ikhlas. Daripada Ibu tersiksa tanpa Ayah... Juni ikhlas. Juni sayang Ibu. Biarpun Juni belum pernah dipeluk Ibu, Juni yakin pelukan Ibu nggak kalah hangat dari pelukan Mama," Di akhir kalimatnya, Juni menatap Andin sekilas dan kembali tersnyum.

"Oh ya Bu," Juni mendekatkan wajahnya ke gundukan seolah ingin berbisik, "Ayah bilang, Ibu cantik."

***

Ada yang ingin ditanyakan? Kalau nggak, aku mau kasih informasi aja. Part depan, Juni Katastrofe tamat:)


Juni Katastrofe [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang