#4

649 93 8
                                    

Harus kuberitahu,
hatiku seratus lapis.
Dan belatimu, ternyata
menembus setengahnya.

-setiase-

Kedua gadis itu duduk di bangku koridor dekat parkiran untuk menunggu seseorang. Jesi yang sibuk dengan ponselnya kini beralih menatap Antara yang sejak tadi masih saja diam. Dilihatnya gadis itu hanya asik menatap ujung sepatunya dengan pandangan kosong. Kesambet kali ya?

"Tar!"

"Apa?"

Jesi mengamati betul-betul gadis itu, "Lo kenapa? nggak boleh ngelamun tau! ini lo nggak halu lagi kan mau dianter Angkasa?"

"Nggak, lihat aja deh ntar."

"Mana sih tuh orang, lama banget."

"Jes," Jesi menoleh dan mengangkat kedua alisnya.

"Gue selama ini egois ya?"

"Maksudnya?"

"Egois dapetin Angkasa."

Sontak gadis itu meletakkan tangan kirinya di dahi Antara, mengecek apakah sahabatnya itu demam atau tidak.

"Ck, apaan sih, gue sehat."

"Gue nggak salah denger? kok lo tiba-tiba jadi gini?"

"Angkasa udah bilang Jes," Antara membalas tatapan gadis itu. "Dia terbebani sama tingkah laku gue selama ini."

"Terus?"

"Ya dia nyuruh gue pergi."

Jesi mendekati Antara, mengelus pundak gadis itu tanpa mengatakan apa-apa. Ia tahu betul Antara sangat mencintai Angkasa, mencintai seseorang dengan berjuta rasa sakit yang mengikutinya. Mencintai orang yang bahkan tak sekalipun berbalik meski Antara terjatuh ribuan kali hanya untuk mengejarnya.

"Ada Angkasa tuh, jangan nangis dulu."

"Siapa juga yang nangis?"

"Sampe nangis diketawain Bu Lia lo ntar."

Gadis itu tidak menanggapi Jesi dan beralih melihat Angkasa yang sudah berdiri di hadapannya. "Ayo Tar."

Antara mengangguk antusias, membuat teman-temannya yang lain saling berpandangan. Rafa yang melihat fenomena langka itu seketika berdiri di tengah Angkasa dan Tara, mengamati kedua orang yang saat ini sama-sama menatapnya datar.

"Tar," cowok itu membisikkan sesuatu pada Antara. "Lo ke dukun ya?"

"Enak aja kalo ngomong!"

"Apa cuma gue disini yang kayak orang bahlul temen-temen sekalian?"

"Udah ah ngomong wae, balik ayo."

"Sabar Rel, ini penting untuk diluruskan. Gue takut Angkasa ini kerasukan."

"Lo kali yang kerasukan."

Antara menjulurkan lidah untuk mengejek Rafa sambil berlalu mengikuti Angkasa, tidak lupa melambaikan tangan pada Jesi juga Elang.

"Buruan."

"Ntar dulu," dari kaca spion Angkasa melihat gadis itu mengikat rambut panjangnya dan sibuk mencari jas dari dalam tas untuk menutupi paha.

"Udah?"

"Udah, Kas."

"Nggak usah pegangan."

"Iya ngerti!"

Baru juga meninggalkan sekolah, gadis itu sudah senang bukan main. Akhirnya setelah hampir dua tahun, ini kali pertama ia duduk di boncengan Angkasa. Menatap punggungnya dari belakang sambil sesekali melirik spion untuk melihat mata tajam cowok itu ternyata bisa menjadi hal yang sangat menyenangkan di dunia ini.

ANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang