Jangan pernah membuat
terbang jika tidak siap memberi
sayap untuk perlindungan.-setiase-
Kedua gadis itu sama-sama menepuk pundak bapak ojek berkali-kali. Kurang beberapa menit lagi mereka sudah terlambat dan ini hari Senin! Sudah cukup dua puluh kali mereka berdiri di hadapan seluruh peserta upacara dan tidak untuk kedua puluh satu kalinya! Bahkan mereka memutuskan untuk tidak menaiki mobil karena sudah pasti akan macet.
"Ah!!"
Antara menghela nafas kesal saat melihat pintu gerbang telah ditutup. Gadis itu pun turun dan membayar ojeknya sebelum berdiri di samping Jesi yang saat ini sudah bersedekap dada. Kenapa selalu mereka berdua yang berakhir seperti ini? Sungguh! mereka tadi bangun pagi kok!
"Lagi?"
Jesi mengangguk, "Males gue, gimana nih?"
"Bolos aja?"
"Lo nggak inget hari ini ada ujian Matematika?" tanya Jesi yang dijawab gelengan oleh Antara.
Antara menoleh lagi, "Gue belum belajar! Kita sampek bab berapa? materi apa?"
"Mana gue tau, yang ngajar kan gurunya bukan gue," Jesi mengibaskan tangannya. "Itu dipikir nanti deh, sekarang pikirin dulu ini kita gimana?!"
"Gerbang samping!"
Antara menarik pergelangan tangan Jesi dan berlari menuju lapangan di samping sekolah. Gerbang samping memang tidak pernah dibuka jika tidak ada kegiatan di lapangan rumput. Tapi setidaknya yang ini tidak terlalu tinggi jika dibandingkan gerbang utama.
"Tar lo jangan gila nyet, kita lagi pake rok!"
"Satu-satunya cara, Jes!"
Jesi memutar bola mata malas, "Oh gosh! gue udah dua kali ini beli rok sekolah baru."
"Udah ayo," Antara merebut tas milik Jesi dan melemparkan benda itu bersamaan dengan tasnya. "Sekarang giliran kita."
"Lo duluan deh."
Setelah berjuang menaiki satu persatu tralis yang ada di pagar, kedua gadis itu sampai juga di seberang. Namun sepertinya teori Antara mengenai kesialan hari Senin berlaku juga. Dari balik gerbang dan di ujung koridor, Bu Lia sudah duduk manis sambil menonton adegan lompat-lompatan barusan.
Antara menelan ludahnya susah payah, "Sorry Jes."
"Udah paham kok bakal kayak gini," Jesi mengambil tas dan siap-siap berlari saat melihat Antara sedang mengikat rambut. Pertanda awal bahwa gadis itu akan mengeluarkan jurus langkah seribunya.
"Siap Jes?"
Gadis itu mengangguk dan serempak berbalik untuk kabur. Namun sayang, ternyata di belakang mereka sudah berdiri guru ketertiban lain yang notabene teman Bu Lia dalam kasus ini. Pria bernama Pak Roy itu tersenyum sinis, membuat ujung kumisnya bergerak naik dan dengan gerakan cepat menahan kedua tangan dua murid perempuan yang selalu membuat darah tingginya kambuh.
"Udah saya tunggu daritadi, harusnya Tara kalo mau loncat tasnya nggak usah dilemparin dulu. Kan suaranya jadi kedengeran, apalagi tas kamu gantungan kuncinya setoko."
Jesi menutup mata menahan emosi, "Udah gue bilang ganti gantungan kunci yang nggak bersuara nyet."
"Ya kan udah bagus gitu."
"Krincing-krincing kayak andong bego."
"Diam!" Pak Roy menghentikan perdebatan mereka dan menyuruh keduanya terus berjalan menuju lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA
Teen FictionKamu pilih mana Angkasa? aku menunggu perasaanmu baik-baik atau kubiarkan saja? Karena ternyata, Semakin dikejar tanpa jenuh, larimu semakin jauh. Kamu sudah ada di depan sana saat aku masih disini-sini saja. Beginilah aku, masih memaksa ingin mene...