14. Khawatir

19.9K 3K 508
                                    

Apa arti keluarga untuk kalian?

Apa arti seorang Ayah di hidup kalian?

Bukankah Ayah harusnya bisa memberi rasa aman?

Kenapa Jaemin nggak pernah merasa demikian?

Kalau Jaemin boleh jujur, dia bahkan nggak pernah bisa merasakan cinta dari Ayahnya sendiri. Kadang dia suka bertanya pada diri sendiri, kenapa dia selalu merasa gemetaran jika bertemu Ayah kandungnya sendiri.

Sedari kecil, Jaemin hanya merasa dia mendapat limpahan kasih sayang yang banyak dari Bundanya. Dia nggak pernah bertanya kenapa yang menjemputnya ke sekolah bukanlah Ayahnya seperti anak yang lain. Bahkan saat pengambilan rapor hanya Bundanya saja yang datang.

Semakin dewasa, pola pikir Jaemin pun berubah. Dia sangat bersyukur walaupun keluarganya tidaklah lengkap. Rasa iri memang sering kali timbul melihat teman-temannya memiliki keluarga harmonis. Tapi kalau dipikir lagi, Jaemin juga nggak ikhlas jika sang Bunda kembali rujuk dengan Ayahnya.

Jaemin nggak mau.

...

Jaemin keluar dari gerbang rumah mewah milik Ayahnya. Pandangannya sedikit memburam. Dia meraih ponsel dari saku celananya, naasnya ponselnya kehabisan daya. Padahal Jaemin berniat memesan ojol supaya bisa lekas pulang dan menangis di atas kasurnya. Tapi Tuhan sepertinya memang tidak mengijinkannya menangis saat ini juga.

Dengan kepala tertunduk, Jaemin berjalan kearah halte terdekat sebelum langkahnya tiba-tiba diberhentikan karena sebuah mobil berhenti tepat disampingnya.

Hari sudah malam, apalagi Jaemin sudah tidak fokus lagi. Dia mengamati siapa pengemudi yang baru saja turun dari mobilnya. Dan dia amat terkejut mendapati fakta bahwa Dokter Jeno tengah memandangnya dengan raut wajah yang diliputi khawatir.

Sisa dua langkah kaki yang memisahkan Jeno dan juga Jaemin. Ingin sekali Jeno memeluk Jaemin erat-erat, melihat betapa rapuhnya sang pujaan hati saat ini. Tapi niatnya ia urungkan. Jeno maunya ada ijin dari yang bersangkutan.

"Tadi saya kerumah adek mau ngasih jajan, kebetulan saya jajan banyak. Tapi kata Tante Yoona adek belum pulang. Ponselnya adek nggak bisa dihubungin juga, jadi saya mutusin buat cari adek."

Alibi Jeno. Padahal jelas-jelas dia kerumah Jaemin tadi untuk memastikan apakah Jaemin sudah selamat sampai rumah setelah bertemu Ayahnya.

"Ponsel saya mati Dok."

"Kalau gitu saya hubungi Tante Yoona dulu ya. Biar beliau nggak khawatir sama kamu."

Mendengar penuturan Jeno, Jaemin hanya menganggukan kepalanya. Jaemin hanya diam mengamati saat Jeno tengah mengetikan sesuatu di ponselnya. Sepertinya mengirim pesan pada Bundanya.

Perihal Bundanya? Jaemin jadi merindukannya. Jaemin ingin memeluknya.

"Dok, boleh pinjem jaketnya? Saya kedinginan."

Suara Jaemin sedikit bergetar. Jeno kelabakan. Dengan tergesa dia melepaskan jaket yang dipakainya untuk dipakaikan pada tubuh Jaemin. Jeno bahkan heran, Jaemin begitu menurut. Tak melawan ataupun meminta memakai jaket itu sendiri.

"Ayo pulang, keburu makin malam. Biar adek bisa istirahat kan."

Jeno membujuk.

"Boleh saya pinjam dada Dokter? Saya lelah sekali."

Tangis Jaemin hampir pecah, tangis yang sudah ia tahan sejak tadi. Jeno tak kuasa melihatnya. Walaupun awalnya ragu, Jeno akhirnya bawa Jaemin kedalam peluknya. Dua tangannya merengkuh pinggang Jaemin penuh rasa nyaman, bawa aman. Membawa tubuh Jaemin agar menempel erat di tubuhnya sendiri.

Terpesona | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang