Lima

6K 729 16
                                    

Minumannya sudah habis sedari tadi, tapi ujung sedotannya masih saja berada di dalam mulut gadis itu, beradu terus menerus dengan deretan giginya yang rapi bak susunan balok.

Berbeda dengan giginya yang fokus pada sedotan, kedua mata bermanik cokelat itu terus saja mengikuti arah gerak cowok di ujung sana yang tengah asyik mendribbel benda bulat berwarna orange dengan beberapa garis hitam di sekelilingnya.

"Dia anak basket juga?" lontar cewek berponi itu.

"Pernah ikut, tapi gak jadi anggota tetep." jawab Vivi yang merasa sadar diri karena diantara manusia-manusia modis disekelilingnya ini, hanya dirinya lah yang menjadi salah satu bagian dari klub basket itu.

Lisa hanya mengangguk, lalu maniknya menangkap sesuatu yang mampu membuat kedua matanya gatal seketika.

Chaila yang baru bergabung juga ikut menyaksikan aksi bak pertunjukan drama itu dengan sebelah alis yang terangkat sempurna, "Gue akuin kalo nyali sama usahanya bener-bener luar biasa."

"Kalo dimata gue malah kayak yang udah gak punya harga diri."

"Setuju," sahut Tana.

Lisa yakin kalau pemandangan mengerikan di ujung sana itu bukan hanya dilihat oleh mereka bertempat saja, tapi memang sengaja dijadikan sebagai konsumsi publik.

"Kalo di mata gue dia itu kayak mojang sekolah yang lagi ngejar ngejar kelinci liar," tutur Lisa yang masih saja memperhatikan bagaimana Risvi yang sedang sibuk memberi botol minum juga handuk kecil ke arah cowok yang hanya memakai kaos polos berwarna hitam itu.

"Gemes," gumamnya lagi.

Tawa Tana meledak, tangannya menunjuk ke arah tengah lapangan basket. "Itu? Sama, gue juga gemes, pengen ngunyel-ngunyel dia pake ini." tunjuknya pada tangan putihnya yang sudah mengenal keras.

"Keturunan preman pasar, emang."

"Emak sama babeh gue bukan preman pasar yakk, mereka itu preman duit."

Setelah Vivi yang mengangguk mengiyakan, mereka kembali diam. Entah kenapa, tapi mereka merasa tertarik untuk kembali menonton kisah cinta sepihak yang sedang ditayangkan secara gratisan itu. Sampai akhirnya dengan terburu-buru Vivi mengancingkan seluruh baju seragam ketatnya yang semulanya tak ada satupun kancing yang menyatu di sana.

Memang untuk masalah penampilan, tak ada satupun dari mereka berempat yang mematuhi aturan sekolah.

Tapi terkadang Vivi memang terlalu luar biasa berani. Jika Lisa hobi mewarnai rambutnya, Tana dengan make up nya yang cetar, serta Chaila dengan berbagai aksesori, maka Vivi dengan baju seragamnya. Meski sebenarnya keempatnya memakai baju yang ketat, tapi Vivi lebih ketat lagi. Bahkan dia sering sekali memakai seragam milik adiknya yang masih SMP itu, dengan name tag serta atribut lain yang tertempel di bajunya pun masih dengan identitas adiknya.

Cara dia memakai seragam sekolah pun terbilang sangat jauh dari kata rapi. Selain karena ketat, Vivi selalu memakainya dengan seluruh kancing yang dibiarkan terbuka, memamerkan kaos pendek sebagai dalamannya, atau bahkan terkadang hanya bermodal tanktop saja, pun dia berani.

Merasakan sebuah jeweran di telinganya, Vivi berteriak sekencang mungkin.

"I-iya bu, ntar Vivi ganti bajunya. Serius," tuturnya sambil memberikan tanda peace dengan kedua jarinya.

"Kamu ini ya.. Sudah berapa kali saya bilang itu supaya baju sekolahmu diganti, bilang ke Ayahmu, masa iya gak ada uang buat beli baju seragam?"

"Iya bu, nanti Vivi bilangin sama Papi. Lepasin dulu dong ini telinganya, anting limited edition ini.. Ntar rusak." ucapnya sekenanya, tak mempedulikan guru di sampingnya yang sudah menggeleng sedari tadi.

Lili Closet Film ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang