Dua Puluh Delapan

4.6K 564 26
                                    

°°°

Satu tahun.

Ya, sudah tepat satu tahun dari hari dimana aku pertama kali melihatnya.

Kenangan paling manis namun kini terasa begitu miris.

.

.

Sisa permen yang masih berada di dalam mulutku aku gigit cepat-cepat, membuat suara gemeretuk dari dalam sana.

Sekarang masih pukul 06.15, dan percaya tidak percaya, aku sudah berada di sekolah- walaupun ini bukan sekolah tempatku belajar tapi aku pernah beberapa kali kemari.

Hanya ada beberapa murid yang sudah di sekolah pada jam segini, para murid teladan tentunya. Dan aku bukanlah salah satu dari mereka. Aku hanya sedang ada janji dengan seseorang, dan itu memaksaku mau tak mau, sudi tak sudi, harus bepergian sepagi ini.

Rambutku yang dicepol asal-asalan itu terurai begitu saja kala aku menutupkan tudung jaket oversize yang tengah aku pakai, sekarang menuju musim penghujan, dan cuacanya jadi terasa begitu dingin walaupun memang akan begitu panas pada siang hari.

"Ini," aku sodorkan setumpuk kertas lusuh yang baru saja aku keluarkan dari dalam tas.

"Just this?"

"Ya."

"Sure?"

Lagi-lagi.. Dia selalu minta lebih.

Aku buka kembali resleting tas hitam yang berada di gendonganku, "Ini bonus, tak ada lagi. Hanya itu yang bisa aku berikan, sisanya kau cari tau saja sendiri. Aku berhenti," tegasku seraya memutar tubuhku pergi meninggalkan lelaki tinggi yang masih merenungi setumpukan kertas yang baru saja aku berikan padanya. Bahkan aku berani bertaruh jika dia akan mematung di sana setidaknya selama setengah jam.

Aku meninggalkan sekolahnya dengan cepat, tak mau mendengar lagi rengekan cowok lemah itu. Sungguh, telingaku selalu penuh dengan rengekannya. Dan hebatnya mulai hari ini aku tak akan mendengar rengekannya bahkan lebih bagus lagi jika suaranya tak akan pernah aku dengar lagi, itu akan lebih membantu.

Jarak dari sekolah ini menuju sekolahku cukup jauh, untuk sampai ke sana butuh kurang lebih dua puluh menit jika menaiki bus-itu setahuku. Jika menggunakan kendaraan pribadi aku tak tau, belum pernah mencobanya.

Bus nya sudah datang, aku masuk ke sana lalu duduk di tempat biasa. Paling belakang, di pojok kanan.

Namun baru saja aku duduk, seseorang dari seberangku-pojok kiri- tampaknya tengah tertidur. Ia memakai seragam sekolah yang sama dengan yang sedang aku pakai, tapi aku tak tau dia siapa karena memang wajahnya tertutupi topi yang tengah ia pakai.

Bukan main, ujung topinya bahkan sampai menutupi dagu cowok itu.

Duk!!

Kepalanya berbenturan dengan kaca, membuat cowok itu meringis kesakitan sambil sesekali mengelus bagian kepala yang terasa sakit. Tapi meski begitu, cowok tanpa name tag itu melanjutkan tidurnya lagi dengan tenang. Sepertinya dia punya hari yang cukup lelah kemarin.

Sebetulnya aku tak peduli dengan siapa dia, kelas berapa, satu angkatan denganku atau tidak, benar-benar tak peduli. Tapi entah kenapa rasa kasihan tiba-tiba saja hinggap, padahal biasanya aku tak kasihan pada siapapun. Pada diri sendiri pun tidak.

Bus sudah berhenti di halte yang berjarak sekitar lima belas meter dari gerbang sekolahku, tapi cowok itu masih belum juga memberikan tanda-tanda akan segera bangun.

Lili Closet Film ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang