Shopia melihat kaca yang memisahkan dirinya dan Wildan, Wildan terus menatapnya sambil tersenyum. Dihadapan Wildan Allan sedang berbicara dengan raut khawatir.
Shopia sangat suka saat ini, saat Wildan menatapnya dengan hangat, penuh cinta, dan kerinduan yang menggebu. Nyatanya perasaan dia tidak bertepuk sebelah tangan selama ini.
Wildan sekilas mengalihkan pandangan menatap Allan dengan marah, sebelum kembali menatap Shopia yang tengah tersenyum. Shopia ingin melihat ekspresi lain dari Wildan, sayangnya Wildan hanya tersenyum.
Shopia melihat Allan menoleh, namun wajahnya keruh, tidak ada senyuman seperti biasanya, berbeda dengan Wildan yang tetap tersenyum meski sesekali keningnya mengernyit berpikir.
Obrolan keduanya sudah sangat lama, bahkan Shopia sudah bosan melihat interaksi keduanya. Ini pertama kalinya Allan mengajak Wildan bicara tanpa mengajaknya, biasanya ia selalu ikut duduk di samping Wildan dan dipeluk.
Shopia menunduk lalu menghela nafas.
"Mari menikah?
Shopia buru-buru mengangkat pandangan melihat Wildan di hadapannya. Tersenyum dengan hangatnya. "Pia."
"Ya." cicit Shopia pelan, dia suka melihat wajah Wildan.
"Ayok, Menikah."
Alis Shopia mengkerut. "Siapa dengan siapa?"
Tangan Wildan terulur, menggeman tangan Shopia lalu mengecupnya. Wildan menatap kedalam mata Shopia dengan yakin.
"Kita. Mari menikah, kita akan terus bersama, menua dan hanya akan maut yang memisahkan kita."
"Kita juga akan terpisah karena mautku sudah... dekat."
Wildan terdiam. Pandanganya kosong, ia melihat Shopia tanpa senyuman. Lalu tanpa berbicara Wildan bangkit dan mendorong kursi roda Shopia dalam diam.
Di perjalanan menuju kamar rawat Shopia, banyak yang menyapa. Tapi keduanya memutuskan untuk diam tak menanggapi, Shopia sadar kesalahannya yang membuat Wildan marah.
Wildan mengangkat Shopia untuk langsung berbaring di banker, tanpa bicara seperti sebelumnya. Begitu akan beranjak, Shopia menahannya dan menangis terisak.
"Maafkan aku."
Tanpa kata lagi Wildan ikut berbaring dan memeluk Shopia erat, diam dan hening meski isak Shopia belum juga berhenti.
"Tidurlah." Hanya itu yang diucapkan Wildan.
Shopia hanya menurut, dia diam dan mencoba tidur tapi sulit. Ia mendongkak melihat Wildan yang tertidur, tangannya terulur hendak mengusap rahang Wildan namun berhenti begitu melihat kedua manik Wildan terbuka seketika.
"Tidur. Jika kau tidak tidur aku akan membahas lamaranku yang kau gantung."
"Kau melamarku?"
Wildan tampak tersinggung. "Aku mengatakannya sebanyak dua kali."
Shopia tersenyum konyol lalu tak lama tergelak sambil terus menyembunyikan tawanya di balik pelukan Wildan.
"Kau mengajak menikah seperti sedang mengajak kabur dari sekolah."
Wildan berpikir sejenak. Itu bukan lamaran impian setiap wanita, lalu dia melihat Shopia yang sedang berpikir.
"Pernikahan sederhana, di taman pada saat malam hari, bertabur bintang, kelaipan lampu taman, berkilauan."
"Impianmu?"
"Ya, dulu. Sekarang aku berhenti memimpikan itu."
"Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER FRIENDzone (Completed)
أدب نسائيKita bertemu lagi saat ini, untuk menyelesaikan beberapa hal yang tak sempat aku utarakan. Namun sungguh, jangan mengharapkan hal yang sama pada kisahku saat ini. Teman dan Musuh hanyalah hasil dari salah satunya. **** Cek dulu cerita FRIENDzone unt...