"Kalo saya minta dikasih foto saya di bagian kanan bisa nggak, Mas?"Gue masih berusaha tersenyum setelah perempuan setengah baya didepan gue terus minta yang aneh-aneh. Pengen gue geplak sebenernya sih, cuma masa iya gue kdrt-in klien? Kan nggak mungkin.
"Bisa, Bu, tapi kalau menurut saya sih nggak perlu karena ini bukan website perseorangan," Gue menjelaskan dengan nada setenang mungkin supaya ibu-ibu depan gue ini nggak tersinggung karena permintaannya gue tolak. Dia menganggukkan kepalanya tanda mengerti lalu mengambil sepotong kentang goreng lalu mengunyahnya.
"Sebenernya ini bukan website partai juga sih, Mas. Mau saya pake buat kampanye, jadi nggak apa-apa kan kalo ada foto saya sama calon saya?"
Calon wakil bupati maksudnya.
Lagian kampanye bikin website buat apaan sih? Daftar jadi timses? Atau ibu ini sama wakilnya lagi bingung gimana caranya ngabisin duit tapi mau ngasih orang nggak enak karena dikira pamer kekayaan sehingga ngasih gue job ginian?
Gue tersenyum kikuk lantas mengangguk lalu mencatat keinginannya di buku notes kecil yang biasa gue bawa ketika bertemu klien, "Nanti saya diskusikan sama tim saya ya, Bu. Minggu depan insyaaAllah sudah ready. Ibu bisa ketemu saya di kantor atau di tempat lain,"
Ibu-ibu yang mengenakan batik dan jilbab hitam itu kembali menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Barang-barang yang sengaja ia taruh di meja seperti smartphone dan tab dimasukkan ke dalam tas jinjing yang gue taksir harganya jauh lebih mahal dari harga diri gue sendiri.
"Minggu depan ketemu disini aja ya, Mas? Atau ke Starbucks di Solo Square juga nggak apa-apa,"
Gue meneguk ludah. Anjir, ini gue di Mekdi aja cuma pesen float doang sebiji padahal udah hampir dua jam gue duduk disini. Menu paling murah di Starbucks berapa sih? 40k ya? Itu kayaknya kalo gue pake makan di angkringan bisa mampus karena kekenyangan.
"Boleh, Bu, nanti kabarin saya aja," ujar gue berat namun berusaha tersenyum seraya memberikan kartu nama gue padanya. Ibu-ibu yang bernama Emilia itu memasukkan kartu nama gue ke dalam tasnya lalu bangkit berdiri.
"Saya duluan ya, Mas. Ada rapat sama pak walikota,"
"Hati-hati di jalan, Bu,"
Bu Emilia langsung bergegas pergi. Kayaknya perempuan itu beneran dikejar waktu deh, soalnya jalannya agak berlari padahal tubuhnya besar berisi. Khas emak-emak pada umumnya yang tiap kali naik motor sein ke kiri tapi beloknya ke kanan.
Eh gak nyambung ya? Pokoknya gitu deh.
Bu Emilia ini anggota DPRD Surakarta yang mau maju jadi Walikota selanjutnya. Sebenernya kantor DPRD ada di deket universitas swasta sana yang mana deket sama kantor gue. Ibaratnya kalo kantor DPRD itu ada di sebelah utara, universitasnya ditengah, dan kantor gue di bagian selatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Start Up!
FanfictionKeseharian tiga belas programmer tampan dalam mengembangkan startup digital. - Lokal - Slow update