Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue tandain disini ya, Gue nggak homoan atau apapun itu sebutannya sama Aksa. Gue pure berteman dengan dia sejak bangku sekolah menengah. Iya, fyi aja, gue dama Aksa udah berteman sejak gue pertama kali masuk SMP. Setelahnya gue yang ngintilin dia kemanapun dia pergi.
Plis jangan nethink dulu sama gue.
Gue punya hutang budi yang besar sama keluarga besarnya Aksa sehingga yang bisa gue lakukan sembari nyicil hutang gue yang besar itu adalah gue membersamai laki-laki itu hampir kemanapun dia pergi, kecuali kamar mandi dan kamar tidur tentunya. Dan Aksa sepertinya fine-fine aja gue intilin kemanapun walau kadang dia suka marah-marah karena gue nggak bisa diem dan banyak bacot.
Gue adalah sulung dari dua bersaudara. Adek gue laki-laki yang jarak umurnya lumayan jauh sama gue karena ketika gue kelas dua SMP, Tuhan baru menghadirkan dia di dunia yang sama kayak gue. Entah keberuntungan atau musibah, dia lahir sebagai adik laki-laki dari seseorang yang tampangnya blasteran malaikat kayak gue.
Nanti jelas kalah ganteng sama gue soalnya, hehe.
Ayah gue meninggal semenjak Bunda hamil lima bulan. Setelahnya bunda bekerja keras buat membiayai persalinan dan biaya hidup kita bertiga dengan membuka warung sembako kecil dari royaltinya sebagai penulis. Iya, Bunda gue penulis yang alhamdulillah nya masih produktif sampai sekarang. Dan alhamdulillahnya lagi, otak gue lumayan cerdas hingga bunda nggak perlu pusing bayar spp gue yang perbulannya bisa dipake buat nyicil motor dulu karena yah, royalti penulis nggak seberapa bro. Paling banter lima belas persen dari harga buku.
Di SMA gue juga full beasiswa karena berhasil menduduki paralel satu setiap tahun. Bahkan sampai kuliah juga gue nggak mengeluarkan uang sedikitpun kecuali buku tambahan materi dan alat penunjang pendidikan seperti laptop dan sebagainya. Dan jujur, itu salah satu yang bisa gue banggain selain muka ganteng gue.
Dulu kalo gue selalu rangking satu paralel, maka Aksa selalu membuntut di belakang gue. Sebenernya daripada temen, kita lebih mirip rival ambisius yang mengejar titel terbaik di sekolah. Seringkali tiap ada ulhar atau ujian akhir, kita akan bertaruh siapa yang nilainya paling tinggi dan yang kalah harus rela traktir selama seminggu penuh dimanapun tempatnya.
Dan Aksa akan membawa gue ke warung seblak pinggir jalan walaupun dia tau kalo gue sama sekali nggak suka makanan itu.
Murah sih. Tapi gimana ya? Ketika Aksa bucin banget sama hidangan berkuah itu, gue justru nggak suka sama rasa salah satu rempahnya yang terlalu kuat. Apa sih namanya? Kencur ya? Itu deh pokoknya. Dan sesuai kesepakatan, gue akan membayar semua pesanan dia. Nggak masalah sih sebenernya, cuma Aksa itu selalu mesenin gue seblak yang nggak pernah gue minta.
Pengen nggak gue makan tapi mubazir. Tapi kalo dimakan, gue bakal bersin-bersin setiap kali satu sendok seblak masuk ke mulut gue. Iya, sesensitif itu hidung gue sama bau-bauan.
Lo tau bersinnya kucing nggak sih? Nah gue kalo bersin gitu. Alih-alih bersin kayak supir metromini yang suaranya bisa bikin jantungan, bersin gue justru lebih mirip sama kucing. Nggak lirih juga, tapi sekali bersin gue bisa tiga kali lebih berkata 'hatchi' dan berujung pada Aksa yang ngatain gue habis-habisan.