Bagian 9🌺

3K 199 4
                                    

Deringan handphone membangunkan dua pasang manusia itu dalam tidur yang nyenyak. Seorang wanita terburu-buru bangun lalu merapikan piyamanya kala mendengar nada dering yang ternyata nada dering ponselnya.

"Assalamualaikum, halo" ucapnya setelah menempelkan benda pipih itu di telinganya.

"Waalaikum salam kak, maaf ganggu" jawab seorang gadis dengan suara serak di seberang.

"Fani, kok panik. Kenapa?" tanya wanita itu panik sembari melirik sang suami di tempat tidur yang sedang menatapnya juga.

"Ini kak, ayah. Ayah tiba-tiba nggak bisa gerak hiks..." Fani berbicara sambil terisak.

"Bicara yang jelas dek, ayah kenapa? Ibu dimana?" tanya Aira, wanita itu sudah panik.

"Ibu syok kak, hiks...ibu pingsan. Sudah ada tetangga yang datang. Hiks..."

"Kamu tenang yah, kakak kesitu sekarang" sambungannya terputus. Aira masih berdiri kaku di tempatnya, rasa khawatir menyelimuti pikirannya takut terjadi apa-apa pada sosok ayahnya itu. pandangannya tiba-tiba mengabur dan hampir saja jatuh kebelakang kalau saja Khalid tidak cepat menyanggahnya.

"Ra, hey..." Panggil Khalid menepuk-nepuk pipi Aira dengan lembut.

Aira mengejapkan matanya dan segera menyegarkan pikirannya. Matanya keduanya saling beradu, lalu dengan cepat pula saling menghindar.

"Tadi, kenapa?" tanya Khalid setelah suasana jadi sedikit tenang.

"Kita kerumah ayah yah mas" Aira kembali gemetar.

"Malam ini?" Khalid melirik jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

"Iya mas, tadi Fani yang nelfon. Terjadi sesuatu pada ayah. Kita kesana yah".

"Ya udah. Kita bersih-bersih dulu".

* * *

Aira berlari mencari ruang rawat sang ayah, Khalid yang di belakangnya merasa khawatir melihat Aira berlarian seperti itu.

Setelah bertanya, mereka menuju ruang ICU, di sana sudah ada Fani termenung yang duduk di temani Bu Dina tetangga rumah mereka. Melihat Aira yang datang, Fani langsung menghambur kepelukkan sang kakak.

"Dek, ayah kenapa?" tanya Aira  yang juga menitikan air mata.

"Hiks...."

"kamu tenang yah, ayah pasti baik-baik saja" hibur Aira. Sebenarnya Aira juga tak tahan ingin menangis. Tapi melihat kondisi Fani, Aira berusaha menguatkan diri.

"Ibu dimana?" tanya Aira lagi setelah keduanya duduk. Khalid pun ikut duduk bersebelahan dengan  Bu Dina.

"Ibumu ada di ruang inap, tadi sempat syok. Tapi udah nggak apa-apa" yang jawab Bu Dina.

"Dengan siapa di sana Bu?" tanya Aira menoleh pada Bu Dina.

"Ada Wahyu sama sari" jawab wanita paruh baya itu.

"Terimakasih yah Bu".

"Iya, tadi di rumah banyak orang tapi udah pada pulang".

"Sekali lagi terimakasih Bu".

"Iya, sama-sama nak".

"Jantung ayah kumat lagi yah?" tanya Aira sambil memeluk adiknya itu yang masih terisak. Fani hanya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan Aira.

Khalid hanya bisa melihat kakak beradik itu yang saling berpelukan. Tak bisa melakukan apapun, ia hanya berdoa untuk keselamatan ayah mertuanya itu.

Pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar masih menggunakan masker. Orang-orang yang menunggu di depan pintu serempak berdiri.

"Dok, bagaimana kondisi ayah saya?" tanya Khalid yang menghampiri dokter paling cepat.

"Kondisi ayah anda sudah ada kemajuan. Besok kita lihat lagi perkembangannya" ucap dokter itu sambil tersenyum menguatkan.

"Dok, bisa kami masuk?" Aira maju bersisian dengan Khalid.

"Tentu saja, tapi di batasi dua orang saja".

Aira menatap Khalid sejenak lalu menengok Fani di belakangnya.

"Kalian masuk saja" Khalid menatap Aira lalu mundur kebelakang mempersilahkan Fani untuk masuk.

Fani mengikuti langkah Aira memasuki ruangan ICU. Melihat sosok laki-laki yang paling berjasa dalam hidupmu sedang terbaring lemah tak berdaya pasti sangat menyakitkan. Itu yang di rasakan oleh kedua perempuan tersebut.  Aira berdiri di sisi kanan brankar sedang Fani di sebelah kiri. Keduanya tak ada yang mengeluarkan kata-kata begitupun suara tangis, hanya ada air mata yang mengalir tak terbendung. Fani mengecup tangan sang ayah.

"Kak, aku keruangan ibu yah. Bu Dina, sari sama Wahyu akan pulang" Fani menghapus air matanya.

"Kakak temani ayah saja disini sama kak Khalid, biar aku temani ibu" sambung Fani dengan setengah berbisik

"Besok aku jengukin ibu"

"Tenang aja kak, ibu cuma syok, kaget"

Aira memeluk adiknya itu, lalu mengantarnya di luar.

"Loh, mau kemana?" tanya Khalid melihat Fani dan Aira keluar.

"Fani mau ke ruangan ibu mas, kita yang tunggui ayah" Aira yang menjawab pertanyaan itu. Aira juga tidak tau kepada siapa pertanyaan itu di tujukan. Fani hanya menunduk tidak berani menatap lelaki yang sudah menjadi kakak iparnya itu. Khalid hanya melihat sekilas saja bayangan Fani ketika ia melewati untuk masuk lebih dulu di ruangan ayah mertuanya itu.

"Ya udah, kamu hati-hati yah" Aira memeluk lagi adiknya itu.

"Iya, tenang aja kak. Di sana banyak pasien lain kok".

Fani dan Bu Dina segera pergi di ruang rawat inap. Aira pun segera masuk menyusul sang suami.

"Ayah punya penyakit jantung yah Ra?" tanya Khalid setelah Aira mendudukkan dirinya di kursi.

"Iya mas, tapi pasti ayah lagi banyak pikiran" jawab Aira sambil memandangi sang ayah yang masih terlelap bersama alat-alat yang terpasang di badannnya.

Khalid tidak lagi bertanya, ia hanya memandang istrinya itu yang entah tengah memikirkan apa. Aira seperti sedang melamun.

"Mmm, kamu tidur yah Ra" Khalid membuyarkan lamunan Aira. Khalid juga khawatir tentang kondisi Aira yang masih hamil muda.

"Aku nggak bisa tidur mas dalam kondisi seperti ini, lagian mau tidur dimana?" Aira memperhatikan sekeliling, hanya ada dua kursi. Lagi pula ini bukan ruang VIP. Di ruangan ini ada dua pasien yang hanya di batasi oleh tirai. Juga satu kata mandi.

Khalid mencari cara agar istrinya itu tidak begadang, segera ia melepas jaket yang di kenakannya. Lalu membongkar tas Jinjing yang di bawah Aira, isinya ada alat sholat, mushaf dan selimut ukuran kecil.

"Ra, kemari".

Panggil Khalid pada wanita berhijab itu sembari menggelar selimut tersebut di lantai yang dingin. Aira berdiri menghampiri sang suami.

"Loh, kamu ngapain mas?" Aira masih dalam mode bingung

"Tidur".

"Mas, ngantuk yah?".

"Ini buat kamu Ra, jangan begadang" Khalid meraih tangan Aira lalu memakaikan jaketnya dan ikut duduk bersama dirinya.

"Kamu tiduran dulu, sebentar lagi subuh. Biar aku yang jaga ayah" perintah Khalid. Aira tidak banyak protes hanya mengikuti titah sang suami.

Khalid tidak tega melihat Aira yang rebahan menggunakan tas sebagai bantal, akhirnya ia menjurkan kakinya dan menyuruh Aira untuk menaruh kepala di atas pahanya.

"Eh, benaran mas?" Aira kaget atas perlakuan suaminya itu

"Iya" jawab Khalid pelan.

"Nanti mas capek lagi".

"Nggak ko, aku masih kuat. Tidur Ra, jangan bicara lagi".

Aira memejamkan matanya, di dekat Khalid memang sangat mendamaikan perasaannya apalagi Khalid mulai membacakan surah Al Mulk sebagai pengantar tidurnya. Aira benar-benar tertidur berbantalkan paha sang pemilik tulang rusuk.

*
*
*

 

(Tidak) Salah Khitbah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang