Bagian 19🌺

3.1K 181 10
                                    

Hari-hari yang terlewati begitu berat bagi Aira. Wanita dengan segudang kesabarannya itu hanya bisa memendam perasaannya. Ia tidak ingin permasalahan rumah tangganya tercium oleh keluarga lagi. Biarlah semua terlihat normal seperti biasanya. Sebab Khalid pun sudah kembali seperti semula meski terasa ada jarak di antara mereka.

Aira masih menyiapkan seluruh keperluan Khalid, masih membuatkan sarapan dan makan malam, kadang juga masih menunggunya pulang. Mereka masih bertegur sapa walau sekedarnya.

Seperti saat ini, Aira masih duduk di ruang tamu menunggu kedatangan sang suami sambil murajaah hafalannya. Melafazkan ayat-ayat Allah memang obat yang mujarab bagi siapa saja tak terkecuali dirinya yang dirundung masalah. Apalagi keinginannya untuk memiliki anak penghafal Qur'an makin besar. Kelak di akhirat nanti anak tersebut akan mempersembahkan mahkota untuk kedua orang tuanya.

Khalid membuka pintu, matanya langsung tertuju pada wanita yang duduk di sofa. Khalid mengayunkan langkahnya pelan sambil melirik sang istri yang sedang menatapnya tapi tidak bergerak di tempatnya. Ia menarik napas, lalu berjalan dengan cepat membuka pintu kamar dan langsung kekamar mandi membersihkan tubuhnya. Setelahnya ia menuju ruang kerjanya. Sejak malam itu, Khalid memang banyak tidur di ruang kerja atau kamar tamu. Kadang juga tidur di kamar mereka namun itu jika Aira sudah tidur.

Aira mengintip ruang makan, namun makanan yang ia sajikan masih tertata rapi belum tersentuh. Padahal ia sudah menunggu sampai jam 9 malam. Walaupun lagi perang dingin, lelakinya itu masih mau makan masakannya. Tapi salahnya juga, Khalid tidak pulang sore hari tentunya lelaki itu pasti sudah makan malam di luar. Akhirnya Aira menarik kursinya, mendudukan dirinya menikmati makanannya seorang diri.

Aira tidak sadar ada seseorang di balik tembok tengah menatapnya, perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Tanpa disadari ia telah menorehkan luka batin kepada wanita yang telah membersamai nya dalam mengarungi bahtera rumah tangga itu. Tak bisa di pungkiri egonya masih bertahta hingga masih enggan untuk sekedar meminta maaf. Ucapan Wawan kala itu menimbulkan prasangka negatif di kepalanya.

* * *

"Kak, istirahat aja. Kasian loh dedek bayinya". Aira hanya tersenyum melihat sang adik mengkhawatirkan nya. Lalu menatap ke arah perutnya yang sudah besar.

"Cuma lap-lap kok. Gak bakalan capek".

Aira hanya membantu sebisanya. Tidak tega rasanya membiarkan Fani merapikan kamarnya seorang diri apa lagi hari-H tinggal menghitung hari. Bukankah calon pengantin tidak boleh banyak beraktivitas namun tidak dengan Fani. Gadis berkulit putih itu tak ingin kamarnya di sentuh oleh tangan lain. Ia ingin menghiasinya sendiri dengan sederhana sesuai keinginannya.

"Kak, mending baringan aja deh" Fani masih merangkai bunga mawar kesukaannya.

"Ngapain baring, aku nggak ngantuk juga".

"Tapi kelihatannya kak Aira tuh pucat".

"Nggak kenapa-kenapa dek. Bunganya masih kurang?"

"Iya, nanti Wawan mengantarnya lagi".

"Em.. dek. Pernikahan itu seumur hidup loh. Kamu yakin dengan pernikahan ini?" Aira menatap sang adik yang masih asyik merangkai mawar kesukaannya.

"Insyaallah kak, aku udah istikharah.  Wawan sudah baik kok. Ayah ibu juga merestui."

Aira mengangguk, memang beberapa kali bertemu Wawan setelah lamaran, lelaki itu menunjukan sikap baiknya. Justru Aira seperti menemukan sosok Wawan yang dulu, yang hangat dan perhatian. Walaupun masih ada hal mengganjal tentang perubahan lelaki itu tapi Aira berusaha untuk menerima. Bahkan Fani saja sudah pasrah dengan takdir. Lalu siapa dirinya, hanya manusia biasa yang harus siap menerima ketentuan dariNya.

"Aku hanya bisa mendoakan mu dek". Fani menyunggingkan senyumnya menatap mata sang kakak, lalu duduk di sampingnya.

"Kak, aku juga mendoakan mu selalu. Aku ingin kak Aira selalu sehat, bahagia. Aku nggak suka kak Aira sedih, aku nggak suka kak Aira terluka. Dan aku nggak suka ada orang nyakitin kak Aira. Aku akan benci orang itu". Aira tak tahan langsung memeluk adik kesayangannya itu, terdengar isakkan kecil dari keduanya.

Bersama sejak kecil, saling berbagi, saling memberikan kasih sayang. Itulah kedua kakak beradik itu. Jika ada hal yang salah, mereka akan sama diam sampai hal itu hilang dengan sendirinya.

"Sungguh kak, aku sudah ikhlas dengan takdir ini".

Aira menghapus air mata sang adik, begitu pun sebaliknya. Mereka sama-sama terkekeh.

"Setelah kamu menikah nanti, kita akan punya kehidupan masing-masing. Aku tidak berhak lagi menegurmu, memarahimu, bahkan menasehatimu. Semua itu akan kamu dapatkan dari imammu"

"Tapi masih bisa minta jajan kan?" Aira mencubit perut sang adik. Mereka akhirnya tertawa lagi sambil melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.

*  *  *

Setelah berpamitan Aira keluar mengendarai sepeda motornya. Meski sempat mendapat kemarahan dari ayah ibunya Aira berhasil menjelaskan pada kedua orangtuanya itu dan meyakinkan ia akan baik-baik saja sampai dirumah. Tentu dengan berbagai alasan bahwa suaminya tak bisa mangantar dan menjemput karena kesibukannya di kantor.

Saat keluar pagar, Aira berpapasan dengan mobil Wawan. Lelaki itu keluar menghampiri Aira yang mematikan stater motornya.

"Kok bawa motor sendiri, suamimu mana?".

"Ohh itu, masih di kantor" Aira memang pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Bahkan ia terlihat natural. Bagaimana dengan Wawan? Lelaki itu harus menghargai sikap profesional Aira.

"Tetap aja nggak seharusnya membiarkan kamu membawa motor sendiri, apalagi lagi hamil".

Aira hanya tersenyum, ia mengingat percakapannya dengan Fani tadi bahwa Wawan akan mengantar bunga.

"Pasti mau ngantar bunga yah?" Aira cepat mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Fani pasti yang cerita",

"Kalau kamu mau bunga juga, aku akan berikan sebagian" lelaki itu menunjuk mobilnya.

"Tidak usah, aku nggak suka mawar".

"Oh aku lupa, kamu kan sukanya anggrek" Wawan kembali menatap Aira.

Aira tersenyum melihat sosok lelaki yang pernah menjadi sahabatnya itu.

"Anggrek memang bunga yang paling indah" gumam lelaki itu. Aira merasa aneh dengan tatapan Wawan kali ini. Tiba-tiba ada perasaan risih. Enggan berlama-lama, Aira langsung pamit mengendarai motornya.

Lelaki gondrong yang ia tinggalkan itu tidak melepaskan pandangannya sampai motor Aira benar-benar hilang. Setelahnya ia masuk kembali di mobilnya lalu menuju pekarangan rumah yang di tujuinya.

Seperti yang Wawan lakukan, Khalid tidak melepaskan pandangannya pada lelaki gondrong itu. Walau marah, Khalid tetap tidak mengabaikan istrinya begitu saja. Ia masih memperhatikan dari jauh. Sedikit geram melihat istrinya dan Wawan tengah berbicara. Ia berpikir ada persekongkolan diantara mereka. Namun setelah perginya Aira, senyum Wawan berubah pilu. Lelaki itu sungguh berbeda.

Khalid melajukan mobilnya menuju rumah, saat melewati dapur ia melihat Aira tengah berkutat dengan masakannya. Ia menelisik tubuh istrinya itu yang sudah bertambah. Saat memutar tubuhnya, mata mereka bersitatap namun tak ada satupun yang bicara hingga lelaki itu melangkahkan kaki jenjangnya kekamar.

"Mas, tadi aku cek up". Aira memandang sang suami yang melahap makannya.

"Sendiri?" tanyanya tanpa mengalihkan wajahnya dari piring.

"Di temani Wati" Aira kembali mengaduk nasi yang telah bercampur kuah soto di piringnya.

Setelahnya tak ada lagi obrolan, ada rasa nyeri yang menusuk relung jiwanya kala melihat wanita yang duduk di depannya itu makan tak bersuara. Ia akui hanya beberapa kali menemani sang istri melakukan cek up, dan sangat rindu ingin melihat hasil USG bayinya namun sifat egonya mengalahkan rasa bersalahnya. Juga ingin menanyakan perihal pertemuan dengan Wawan tadi tapi ia urungkan takut Aira menganggapnya penguntit.

*

*

*




(Tidak) Salah Khitbah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang