Bagian 11🌺

3K 190 12
                                    

Setelah dirawat selama lima hari pak Rudi diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Namun belum di perbolehkan untuk melakukan aktivitas lebih. Aira mewanti- wanti ayahnya itu untuk beristirahat total. Perihal kumatnya penyakit pak Rudi belum ada yang tahu. Pak Rudi sendiri tidak ingin membebani istrinya ataupun Aira. Dia masih ingin bernegosiasi dengan Fani. Namun tidak ingin menyembunyikan ini dari Aira karena menyangkut dengan suaminya.

"Apa kandunganmu sehat" tanya pak Rudi saat hanya berdua saja dengan Aira di kebun sayur belakang rumah mereka.

"Alhamdulillah sehat" Aira mengelus perutnya yang sudah terlihat membuncit disertai senyum khasnya.

"Khalid baik pada mu kan?"

Aira tersenyum mengangguk. Ngomongin Khalid, pria yang baru beberapa jam mengantar Aira di rumah orang tuanya. Sebelum pamit pada Aira, suaminya itu telah melakukan hal manis padanya pagi ini yang membuat Aira berbunga-bunga. Padahal Khalid hanya mengelus dan mencium perutnya, hal wajar yang di lakukan oleh seorang suami pada istrinya  yang tengah hamil. Tapi hal kecil itulah yang bisa membuat muka Aira merona tiba-tiba kala mengingatnya.

Pak Rudi tersenyum melihat rona muka Aira yang tersirat makna kebahagiaan. Bagaimanapun Aira menyembunyikan tetap saja ayahnya itu bisa melihat aura yang dipancarkannya.

Pak Rudi menghela napas pelan,

"Sebenarnya ayah ingin segera melakukan tanggung jawab terakhir ayah".

Aira menatap ayahnya angkatnya itu dengan sendu.

"Ayah ngomong apa sih".

"Ayah ingin menikahkan adikmu itu sebelum ayah tiada nak".

"Ayah jangan mikir yang aneh-aneh dulu deh".

"Takdir nggak ada yang tahu nak. Rezki, jodoh dan ajal itu Allah yang tentukan".

" Ehm...Fani kan belum wisudah yah, emang sudah ada calonnya?" ucapnya terbata.

Pak Rudi terkekeh melihat mimik Aira yang berubah, pikirannya langsung tertuju pada Khalid.

"Kamu ingat Wawan?"

Aira mengangguk, tentu saja Aira mengingat pria itu. Pria yang dulu pernah dekat dengannya.

"Beberapa hari yang lalu Wawan menemui ayah, dia ingin melamar Fani"

Aira menyimak pembicaraan ayahnya itu,

"Dua hari kemudian ayah menyampaikan itu pada Fani. Tapi dia menolak"

"Apa itu yang menyebabkan ayah sakit?"

Pak Rudi mengangguk,

"Ayah memaksa Fani? Lalu ayah marah padanya?" Aira menyelisik.

Pak Rudi menarik napas pelan kemudian menghembuskannya,

"Ayah bukan marah atas penolakannya tapi lebih ke alasannya".

Aira bergeming, pikirannya berkecamuk. Ia bisa menebak sendiri apa alasan di balik penolakan itu.

"Dia ingin suami seperti sosok suamimu" ujar pak Rudi pelan sambil mengamati wajah Aira.

Aira menelan ludahnya, Fani benar-benar menaruh perasaan sedalam itu terhadap Khalid. Aira memalingkan muka, rasa sakit seketika menusuk dadanya.

"Apa Fani benar-benar mendambakan lelaki seperti itu?" Ucapnya tanpa menatap sang ayah.

"Jangan berfikir yang macam-macam!" Pungkas sang ayah lembut namun penuh ketegasan.

Aira sedikit terkejut mendengar nama Wawan, pria yang pernah menjadi teman dekatnya semasa sekolah. "Semoga saja Wawan sudah berubah" batin Aira.

Aira mendorong kursi roda ayahnya memasuki rumah lewat pintu belakang. Di ruang makan sudah ada sang ibu dan Fani yang sedang menunggu kedatangan mereka untuk makan siang.

(Tidak) Salah Khitbah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang