Bagian 14🌺

2.8K 167 4
                                    

Pagi-pagi Aira sudah tiba di rumah orangtuanya, ia membawa serta perlengkapan mengajarnya sebentar siang. Bu Lina menyambutnya dengan suka cita.

"Suamimu nggak masuk?".

"Nggak Bu, kan dia kerja. Itu juga udah mau terlambat gara-gara nungguin aku siap-siap".

Bu Lina menggiring Aira untuk duduk,

"Emang nggak ngajar, kok kesini?".

"Sebentar siang Bu. Aku udah bawah buku-bukunya nanti aku berangkatnya dari sini",

"Kapan cutinya, perutmu udah mulai besar loh" Bu Lina memperhatikan perut anaknya itu yang sudah membesar.

"Belum Bu, nanti kalau dekat lahiran. Ini kan baru lima bulan Bu".

"Ya udah, yang penting kamu jaga kesehatan"

Aira mengangguk lalu memeluk sang ibu yang telah merawat dan membesarkannya dengan penuh cinta. Tak ada perbedaan antara dirinya dan Fani dalam kasih sayang dan perlakuan mereka.

"Fani mana Bu?" Sambil melepas pelukan dengan sang ibu.

"Ada dikamar"

"Ayah?".

"Dibelakang".

Aira mengedarkan pandangannya di sekeliling rumah,

"Bu, aku masuk di kamar Fani yah".

Aira mengetuk pintu kamar Fani kemudian langsung masuk karena tidak di kuncinya.

"Kak Aira, pagi amat" gadis itu menoleh sejenak ke arah pintu.

"Pengen nengokin ayah".

Aira mendudukkan bokongnya disisi ranjang, sementara Fani masih berjibaku dengan laptopnya sejak ba'da subuh.

"Skripsimu udah di acc?".

"Masih perbaikan lagi kak, doakan yah... Udah bosan di kampus".

"Iya, insyaallah selangkah lagi kok. Semangat".

Kedua kakak beradik itu saling melempar senyum. Sudah lama rasanya Aira tidak seperti ini dengan Fani. Sebelum menikah biasanya mereka menghabiskan waktu untuk bercerita, saling curhat dan sebagainya.
Kemunculan sang ibu mengalihkan perhatian mereka.

"Di depan ada Wawan" sang ibu kemudian keruang tamu lagi menemani tamu yang baru datang itu.

Fani memutar bola matanya, ia berdecak kesal. Benar-benar lelaki itu mengusik ketenangannya. Setelah mengontrol emosinya, Fani menatap kakaknya itu dengan sendu seperti meminta pertolongan.

"Kakak udah tau dari ayah" ucap Aira mendahului sang adik. Dari mimik muka, Aira bisa menebak kalau adiknya itu merasa risih dengan Wawan.

"Aku udah menolaknya, ayah pun setuju atas keputusan ku".

"Lantas?"

"Dia punya senjata untuk mengancam aku",

"Pintar sekali dia mengambil hati ayah dan ibu".

"Biarkan aku bicara dengannya dulu".

Aira bergegas keluar menemui Wawan diruang tamu bersama ibunya. Nampak lelaki bertubuh tegap itu tengah menyeruput teh yang asapnya masih mengepul. Aira kemudian duduk tepat dihadapan lelaki itu.

"Hai Ra, lama baru kita ketemu lagi" Wawan menyapanya dengan ramah.

Aira tersenyum tipis pada lelaki itu. Aira sejenak  mengamati penampilan Wawan dari atas sampai bawah. Lelaki itu sedikit berubah, penampilannya sangat rapi, hanya rambutnya agak gondrong.

"Ekhem" Aira hanya berdehem takut Wawan menyadari karena memperhatikan penampilannya.

"Jadi benar, kamu akan melamar Fani?". tanya Aira to the point. Bu Lina sudah beranjak ke dapur.

"Yap ".

"Boleh kita bicara empat mata?".

"Tentu saja".

Aira keluar dari rumah menuju halaman depan rumahnya, duduk diatas bangku panjang di bawah pohon. Wawan kemudian menyusulnya.

"Hai Aira, apa kabarmu?" Kali ini Wawan menatap Aira lekat.

"Seperti yang kamu lihat" ucap Aira ketus, namun ekspresi lelaki itu datar saja.

"Ternyata kamu sudah menikah".

"Aku tidak mau berbasa-basi, kenapa mau menikah dengan Fani?".

"Apa salahnya?"

"Dia adikku, apa motif mu? Mau balas dendam?" Pertanyaan Aira membuat lelaki gondrong itu tertawa.

"Ck Aku hanya tertarik padanya, lagi pula dia lebih cantik darimu" lelaki itu menaikan salah satu alisnya.

Aira tertohok mendengar ucapan Wawan. Siapapun wanita pasti merasa sedih jika dibandingkan-bandingkan dengan wanita lain apalagi perihal fisik tapi Aira segera menepisnya tidak ingin nyalinya turun karena omongan Wawan.

"Fani memberitahuku kamu mengancamnya?, Asal kamu tahu aku tidak akan tinggal diam melihatmu semena-mena pada keluargaku".

"Lihat saja nanti, aku akan melihat kegigihanmu itu Aira".

"Pergi dari sini!" Usir Aira sambil berdiri meninggalkan Wawan.

"Kamu bahkan tidak menanyakan kabarku".

Aira berbalik menatapnya dengan sinis kemudian melangkah masuk kedalam dan menutup pintu.

Aira menutup matanya sejenak mengingat persahabatannya dulu dengan lelaki yang bernama Wawan. Mereka bersahabat sejak kelas satu SMA, menjelang kelas tiga Wawan menyatakan cinta pada Aira. Namun gadis yang bermata bulat itu menolaknya, Aira menganggapnya sebatas teman. Wawan sangat marah jika melihat Aira dekat dengan lelaki lain sebab dia telah memendam perasaannya sedari awal. Puncaknya saat itu Wawan sengaja mencegat Aira di toilet sekolah dan ingin melecehkannya untung Aira bisa lolos. Ketika itu Aira mulai menghindari Wawan walaupun lelaki itu telah meminta maaf. Rupanya Wawan mengulangi kesalahannya, ia membutuhkan obat penenang pada minuman Aira pada malam prom night kelulusan mereka. Lagi-lagi Aira beruntung. Ia tersadar saat di dalam kamar hotel, walaupun Aira sudah melawan tenaga lelaki itu lebih kuat. Aira menangis dan menjerit sekuat mungkin saat lelaki itu menamparnya berkali-kali sebab Aira memberontak dan menolak lelaki itu. Saat itu tiba-tiba pintu kamar terbuka, disana sudah ada teman-teman mereka untuk menolong Aira. Lelaki itu tak bisa mengelak atas tindakannya. Singkat cerita sampai ditelinga orang tua Wawan, dan lelaki itu di kirim ke kampung. Itulah cerita yang Aira tahu.

"Kak".

Mata Aira terbuka, ia langsung memeluk gadis yang ada di depannya dengan erat.

"Kak, ada apa?".

"Ehm, tidak ada. Ayo kekamar lagi".

"Orang itu sudah pergi kan?".

"Iya, kamu tenang saja. Aku akan berada di depanmu".

Fani memeluk kakaknya itu dengan hati yang tenang setidaknya ada satu orang yang mendukungnya.

"Terimakasih kak".

"Iya, aku akan bicara dulu sama ibu dan ayah".

Siangnya Aira pamit pergi mengajar setelah berbicara dengan ayah dan ibunya. Entah apa yang Wawan citrakan sehingga orang tuanya menyukai lelaki itu.

* * *

Aira memandangi wajah suaminya yang sudah terlelap lebih dulu, nampak tersirat wajah kelelahan pada lelakinya itu. Aira menatap lebih dekat lagi, lalu membelai rambutnya dengan pelan. Bibirnya melengkung keatas, pikirannya menerka-nerka apakah ia beruntung bersuamikan lelaki seperti seorang Khalid. Sudah tampan, baik, sholeh, lembut. Rasanya semua perempuan pasti mendambakan suami yang seperti itu. Tak terkecuali adiknya. Bukankah Fani lebih dulu ada di hati suaminya itu? Ah...andai saja. Tubuhnya tersentak saat sebuah tangan kekar melingkari perutnya. Buyar sudah pikirannya yang sudah kemana-mana.

*

*

*




(Tidak) Salah Khitbah ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang