Tiga hari sudah Aira terbaring di rumah sakit, dan belum sadarkan diri. Kejadian beberapa hari yang lalu menyebabkan ia pendarahan dan terpaksa harus dilakukan tindakan operasi sesar. Kini bayi mungil itu masih di ruang NICU dalam inkubator.
Para keluarga bergantian menemani di rumah sakit. Begitupun teman kantor Khalid serta rekan guru Aira kerap kali datang menjenguk. Sedangkan Khalid, lelaki itu hanya sekali pulang mengambil keperluannya di rumah. Tidak ingin sedetikpun meninggalkan Aira yang masih berjuang di dalam sana.
Setelah melaksanakan shalat tahajud, Khalid melantunkan surah Ar Rahman untuk sang istri, lalu membacakan shalawat Tibbil Qulub. Khalid yakin Aira bisa mendengar Kalam Illahi yang ia lantunkan, ia juga tahu Aira sangat mencintai shalawat Nabi, terbukti setiap kalimat-kalimat suci itu di perdengarkan anggota tubuh Aira bereaksi. Seperti jarinya tangannya atau air matanya yang menetes.
Itu saja sudah membuat hati Khalid senang, ia akan terus melakukan itu dengan harapan agar sang istri segera membuka mata dan pulih kembali. Ia masih memandangi wajah pucat itu, tak ada senyum di sana apalagi mata yang berbinar. Tangannya menggenggam dan mengelus jemari sang wanitanya.
"Maafkan aku" gumamnya lirih.
"Kamu tak ingin melihat anak kita?, dia cantik seperti ibunya" Khalid tersenyum sendiri.
"Kamu tahu, aku sudah skin to skin sama dia". Ia memang telah melakukan metode kangaroo care itu atas saran dari dokter.
"Bangunlah" Khalid menghela napas sejenak "kamu tidak mau mendengar pengakuanku hm?".
Sayup-sayup terdengar shalawat tarhim pengantar adzan menandakan waktu subuh telah menyapa, Khalid bergegas ke mushola sebelumnya ia membangunkan ibu Lina yang memang menginap di ruangan itu.
Usai menunaikan shalat subuh, Khalid menyempatkan waktu untuk membaca al matsurat, di tengah kekhusyukannya ia menerima telepon dari ibu mertuanya.
Khalid berlari di koridor rumah sakit sampai beberapa kali menyenggol orang yang di lewatinya. Dari jauh ia melihat sang mertua menangis di depan pintu. Dengan hati berdebar Khalid mendekati ibu mertuanya itu.
"Bu," Khalid memegang pundak Bu Lina.
Wanita paruh baya itu menangis terguncang, Khalid semakin cemas.
"Tadi Aira sempat sadar, tiba-tiba dia kejang-kejang. Bagaimana ini". Khalid merangkul ibu mertuanya itu untuk menenangkannya meski dirinya sendiri tidak tenang.
Siapa yang bisa tenang jika orang kesayanganmu sedang bertaruh nyawa.
Ya, Khalid sadar dirinya benar-benar menyayangi ibu dari anaknya itu. Perasaan yang dulu di agungkannya telah menguar entah sejak kapan. Kini hanya rasa takutlah yang menderanya, takut kehilangan. Sedang ia benar-benar ingin memiliki kesempatan untuk menunjukan rasa sayangnya itu.
Apalagi selama ini ia merasa belum pernah memberinya secuil kebahagiaan. Menyesal, sungguh ia merasakan itu. Ia berpikir dirinyalah yang tersakiti dalam pernikahan mereka, sama sekali tak memikirkan perasaan wanita itu. Dan sekarang dirinya gagal melindungi sang istri. Entah kesakitan apalagi yang ia tancapkan.
Tak lama keluarlah dokter dari ruangan Aira. Khalid dan Bu Lina sontak berdiri menghampiri sang dokter.
"Dok, bagaimana istrinya saya?"
"Alhamdulillah, walaupun masih sama. Tapi Bu Aira sudah melewati masa kritisnya" jelas sang dokter. Khalid dan Bu Lina kembali tenang dan bersyukur.
* * *
"Maafkan mas Wawan" Fani tertunduk .
"Seharusnya dialah yang meminta maaf bukan kamu".
"Aku...aku tidak tahu kalau akan seperti ini, aku benci orang yang menyakiti kakakku. Tapi orang itu adalah suamiku".
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tidak) Salah Khitbah ✓
ChickLitKhalid harus mengubur impiannya untuk menikah dengan Fani, gadis yang ia kagumi dalam diamnya. Saat akan mengkhitbah Fani, orang tua Khalid malah mengkhitbah Aira.