Note: Maafkan jika ada typo yang berterbangan. Maklum manusia banyak kekurangannya.
SELAMAT MEMBACA
🌻
"Kata orang, cinta itu buta dan tuli. Tapi, pas nikah, ngapain bawa-bawa harta? Katanya buta, kan, pengin nganu."
-Dewa Junio Fajry-
•••
Bunda Dewa tercengang saat melihat rumah yang tak kalah besar dari rumah sang mantan suami. Bahkan, jika dibandingkan lebih besar yang saat ini ia lihat dengan matanya.
"Rumah siapa, Wa?" tanya Bunda Dewa menatap Dewa penuh tanda tanya.
Dewa merangkul sang Bunda. Membawanya masuk ke dalam dengan tangan kirinya menenteng koper dan tas ransel yang ia kenakan di punggungnya.
"Rumah Dewa, Ma."
Langkah Bunda Dewa terhenti di depan pintu kala Dewa berucap seperti itu. Namun, Dewa tetap berjalan membuat sang Bunda menunda pertanyaannya.
Dewa menundukkan pantatnya di sofa, diikuti Bunda. Dewa menatap Bunda dengan senyum mengembang. Membiarkan Bundanya menyusun beberapa pertanyaan yang harus ia lontarkan kepada anaknya.
"Beneran rumah kamu? Dapat uang darimana? Main judi? Bunda nggak mau ya nempatin rumah hasil judi kamu. Kamu itu jangan ikut-ikutan sifat Ayah kamu," cerocos Bunda membuat Dewa mendelik.
Astagfirullah. Judi? Dewa saja tidak pernah memikirkan sampai situ. "Enak aja, Bun-"
"Nak, sadar. Kamu jangan main judi, nggak baik. Bunda aja nggak pernah main, masa kamu main."
Etdah buset. Dewa tidak pernah judi. Dewa membeli rumah ini dengan jerih payahnya selama hampir empat tahun. Dan dengan mudahnya Bunda mengira Dewa judi? Dasar emak-emak.
"Bunda. Dewa itu nggak jadi. Masa ganteng-ganteng gini judi?"
"Terus apa?"
Mungkin ini waktu yang tepat, setelah sekian lama ia menyembunyikan rahasia ini. Hanya Tuhan, dirinya, Juna, dan Fajar yang tahu.
"Dewa punya perusahaan sendiri. Kecil, sih, tapi Alhamdulillah bisa buat beli rumah yang kecil ini."
Bunda Dewa tercengang. Anaknya mempunyai perusahaan?
"Kamu nggak bohong?"
"Enggak, Bun."
"Terus kenapa nggak bilang sama Bunda?"
Dewa menghela napas kasar. "Mau bilang gimana, Bun. Bunda aja sibuk sendiri, eh, pas pulang-pulang malah ngasih kabar kalau Dewa mau dijodohin sama Lintang. Dewa sebenarnya anak Bunda nggak, sih? Main jodoh-jodohin aja. Untungnya nggak jadi," jelas Dewa diakhiri dengan dengusan sebal.
Bunda Dewa menunduk merasa bersalah. Benar apa kata Dewa. Tidak seharusnya ia menyibukkan dirinya agar tidak bertemu dengan Ayah Dewa. Mencoba biasa saja tanpa tahu hatinya sangatlah sakit.
"Maafin Bunda, Wa. Bunda salah. Bunda memilih kerja kantor di teman Bunda karena Bunda nggak mau bertemu dengan Ayah kamu."
Lagi-lagi Dewa menghela napas kasar. Lalu ia memeluk tubuh sang Bunda. Dipeluknya dengan erat dan memberi kekuatan kepadanya agar tetap tegar. "Maafin Dewa juga, Bun. Dewa nggak tahu masalah itu. Kalau Dewa tahu, kan, Bunda nggak usah capek-capek kerja kantoran. Anak Bunda, kan, udah sukses."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Dewi [COMPLETED]
Teen FictionCOMPLETED "Lihatinnya biasa aja kali. Gue tahu gue ganteng." -Dewa Junior Fajry "Siapa juga yang lihatin lo! Gue cuma penasaran aja kenapa kok lo enggak cantik kayak gue." -Dewi Rosalina Anggraeni Kehidupan Dewa dan Dewi penuh pertengkaran antara ke...