Written by tiascahya_
Berlin, Jerman 1884.
Cahaya matahari mulai masuk melalui celah rumah tua bernuansa Eropa klasik di kota kecil ini. Seisi rumah gelap, hanya ada beberapa lilin yang berpijar untuk menjadi penerangan.
"Thomas, pergilah tidur! Matahari sudah hampir terbit." Alarice berseru pada adiknya yang masik asyik membaca buku di dekat jendela.
Thomas menutup bukunya, lalu memutar bola matanya malas. "Haruskah aku melakukannya sekarang juga?"
"Tentu saja. Dasar, Anak nakal!" Kemudian, Alarice menyeret Thomas ke arah petinya.
"Aku belum mengantuk," kata Thomas, anak itu duduk di atas peti.
Alarice berkacak pinggang sambil menatap Thomas tajam. "Paman Aaric akan marah jika tahu kau belum pergi tidur."
"Kalau begitu, tolong bacakan dongeng agar aku mengantuk," pinta Thomas, membuat Alarice mengalah dan akhirnya duduk di samping anak itu.
"Kau ingin mendengar dongeng tentang apa?"
"Terserah kau saja."
Alarice terlihat berpikir. Tidak lama setelah itu, sesuatu terlintas di otaknya. "Bagaimana tentang perang antara Klan Vampir dan para Likantrof?"
Thomas mengangguk menyetujui.
"Baiklah, aku akan memulainya." Alarice menatap Thomas yang terlihat sedang menunggunya untuk bercerita. "Ratusan tahun lalu, Klan Vampir dan para Likantrof masih merajalela di Eropa. Mereka adalah musuh abadi sejak dulu. Klan Vampir merasa superior, begitupun dengan para Likantrof. Persaingan selalu ada di antara kedua bangsa."
"Sampai suatu ketika terjadi perang besar antara klan Vampir dan para Likantrof. Perang itu terjadi tepat ketika gerhana bulan super yang membuat kekuatan kedua bangsa itu bertambah seratus kali lipat. Bisa kau bayangkan betapa dasyatnya perang tersebut?"
Thomas menggeleng. "Kurasa benar-benar dasyat."
"Ya, begitulah. Di sana pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan. Banyak Klan Vampir yang gugur, begitu juga dengan para Likantrof."
"Ayah dan ibu juga ada di sana, kan?" tanya Thomas. Dulu, ia sempat mendengar cerita kalau orang tuanya pernah terlibat pada perang besar itu.
Alarice mengangguk. "Mereka ada di sana. Namun, mereka telah mati di tangan para Likantrof."
Thomas menunduk, ia merasa sedih. Anak itu merindukan kedua orang tuanya.
Alarice yang melihat itu ikut merasa sedih. Kemudian, ia memeluk Thomas sejenak. "Sudahlah, kau tak perlu bersedih. Aku yakin suatu saat nanti kita akan bertemu kembali dengan mereka."
Thomas menengadah menatap Alarice. "Setelah itu apa yang terjadi pada perangnya?"
Alarice tersenyum simpul, ia kembali memfokuskan pikirannya. "Setelah itu perang masih tetap dilanjutkan oleh klan Vampir dan para Likantrof yang tersisa. Apa kau tahu jika perang itu menyebabkan kepunahan para Likantrof?"
"Ya, tentu saja. Tapi, apa kekuatan Klan Vampir sangat dasyat sehingga para Likantrof itu mengalami kepunahan?"
"Tidak, Thomas. Saat perang berlangsung terjadi suatu fenomena alam. Tiba-tiba turun hujan peluru perak yang membuat para Likantrof mati karena terkena hujan tersebut, lalu mereka mengalami kepunahan. Kau tahu kan, peluru perak adalah kelemahan para Likantrof. Bersamaan dengan itu, matahari terbit dari arah barat. Klan Vampir yang tidak sempat menyelamatkan diri berubah menjadi abu. Itulah alasan mengapa populasi kita tersisa sedikit."
"Apa ada klan yang menjadi saksi perang tersebut?" tanya Thomas.
Alarice berpikir sebentar. "Ada. Salah satu anggota keluarga Griffiths yang tersisa adalah saksi perang tersebut. Menurut cerita, ia selamat karena mengendalikan awan agar bisa menyelamatkan diri."
Thomas mengangguk-angguk. "Lalu, apa lagi yang terjadi?"
Alarice memejamkan mata, mencoba mengingat lagi tentang cerita lama itu. Kemudian, ia menjentikkan jari. "Perang itu menciptakan sepuluh batu permata ungu akibat percampuran darah Klan Vampir dan para Likantrof. Batu permata ungu itu tersebar diseluruh wilayah eropa dan memiliki kekuatan spesial. Paman Aaric bilang, jika sepuluh batu permata ungu itu disatukan, sesuatu yang besar akan terjadi." Alarice memelankan suaranya dikalimat terakhir.
"Benarkah?" mata Thomas berbinar. Anak itu kagum dengan apa yang kakaknya katakan barusan.
"Iya, benar." Alarice bangkit berdiri, "Sekarang, kau harus pergi tidur."
"Baiklah." Thomas berdiri, lalu membuka peti dan masuk ke dalamnya.
Alarice hendak pergi ke petinya, namun panggilan Thomas membuatnya menoleh ke arah anak itu.
"Alarice, apa kau tahu di mana sepuluh permata ungu itu berada?"
Gadis itu mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu."
"Ya sudah, selamat tidur," kata Thomas, kemudian menutup petinya.
Alarice tersenyum samar, lalu melanjutkan langkah menuju petinya yang tidak jauh dari milik Thomas.
Thomas membuka petinya setelah memastikan Alarice benar-benar pergi. Anak itu menatap langit-langit kamarnya, ia masih terus memikirkan tentang sepuluh batu permata ungu yang diceritakan oleh Alarice. Rasa penasarannya mencuat seketika. Apakah ia harus mencari tahu tentang batu permata itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Blood [COMPLETE]
VampireSuatu masa ketika klan vampir mulai tersisih dari muka bumi. Perang antara Klan Vampir dan manusia serigala beratus tahun lalu menyebabkan terciptanya sepuluh batu permata ungu dengan kekuatan spesial yang tersebar di seluruh wilayah eropa. Konon...