Kereta kuda yang Lars kendarai tiba-tiba berhenti ketika sudah mendekati tempat yang tadi ditunjuk oleh Alarice. Hal itu membuat Alarice, Matheo, serta Jeanne mengernyit bingung."Kenapa berhenti?" Alarice bertanya pada Lars dengan dahi berkerut dalam.
"L-lihat di sana," ucap Lars, nada bicaranya terdengar ketakutan.
Pandangan mereka semua tertuju pada sebuah tempat yang memancarkan sinar tersebut. Namun, ternyata di sana terdapat banyak sekali benda suci yang dapat membuat mereka lemah dan terbakar.
Raut wajah Alarice berubah ketakutan. "Kita tidak akan bisa ke sana."
"Tidak, kita bisa!"
Seruan Jeanne membuat mereka semua menoleh ke arah gadis berambut merah itu.
"Bagaimana caranya? Kita tidak punya kekuatan pelindung!" ujar Matheo.
"Kau lupa siapa aku? Aku ini keluarga Valvonka yang kebal terhadap benda-benda suci." Jeanne tersenyum, lalu menyuruh mereka semua untuk turun.
"Ikuti mantra yang aku ucapkan," titah Jeanne, gadis itu mengucapkan sebuah mantra yang kemudian diikuti oleh Alarice, Lars, dan Matheo.
Setelah selesai, Jeanne melirik ke tempat yang dipenuhi oleh benda suci tersebut. "Sekarang, ayo ke sana."
"Kau sudah gila, ya!" Matheo berseru. Ya, ia memang takut. Tidak ada yang paling Matheo takuti selain neneknya dan benda-benda suci.
Bola mata Jeanne berputar. "Ayolah, jangan takut."
Setelahnya, Jeanne berjalan mendekat. Disusul oleh Alarice, Lars, serta Matheo di belakang yang melangkah dengan ragu. Bahkan, taring mereka sampai keluar.
"Hey, apa kau yakin ini tidak akan membunuh kita?" tanya Lars memastikan.
"Buktikan saja sendiri," ujar Jeanne, lalu berdiri di depan benda suci yang begitu banyak tersebut. "Lihat, tidak apa-apa, kan?"
Lars, Alarice, dan Matheo tersenyum senang karena mereka tidak merasakan lemas atau panas pada tubuh. Meski masih merasa takut, mereka tetap mengikuti Jeanne untuk mengambil sesuatu yang bercahaya itu.
"Hey, lihat itu!" ucap Alarice sambil menunjuk sebuah batu berwarna ungu yang nyaris terkubur di dalam tanah.
Jeanne mengambil batu itu dan membersihkan sisa tanah yang menempel. "Lars, apa ini permatanya?"
Lars memperhatikan batu itu baik-baik seraya mengingat detail permata ungu yang ayahnya simpan.
"Astaga, ini benar-benar permata ungu," ucap Lars yang kemudian diberi sorakan senang oleh mereka.
"Kita berhasil!" Alarice berseru dengan gembira.
"Sekarang, ayo keluar dari sini. Aku merasakan tubuhku mulai terbakar." Matheo berucap. Dengan cepat mereka pergi dari sana dan langsung melanjutkan perjalanan ke Estonia.
Mereka semua melakukan pencarian diseluruh wilayah negara itu. Namun, tidak menemukan apa-apa. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pulang ke Jerman.
***
Aaric dan Dominic duduk di ruang tamu keluarga Peerad. Mereka menunggu kedatangan para klan remaja. Aaric tahu pasti mereka akan pulang hari ini berkat kemampuannya melihat masa depan.
Setelah satu jam menunggu, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Kedua lelaki itu bangkit dan berjalan ke arah pintu.
"Selamat datang," ucap Dominic ketika membuka pintu dan melihat para klan remaja di sana.
Alarice, Jeanne, Lars, serta Matheo terkejut melihat kehadiran Dominic dan Aaric. Mereka mengira para tetua masih dalam misi pencarian di Eropa Barat.
"Dari mana saja kalian?" Aaric bertanya setelah mereka semua masuk ke dalam. Lelaki itu menatap tajam mereka berempat.
"Kami ... habis berjalan-jalan di hutan," jawab Alarice dengan ragu.
"Jangan bohong!" sentak Dominic. "Kalian tidak berada di rumah sejak kemarin!"
Keempatnya diam. Mereka tidak memiliki keberanian untuk menyanggah Dominic karena pada akhirnya lelaki itu akan memojokkan mereka.
Aaric melipat tangannya di dada."Kenapa kalian mencari batu permata tanpa seizin para tetua? Apa kalian tidak tahu kalau itu berbahaya?"
Lars mendengkus keras. "Seharusnya kalian berterima kasih karena kami ingin membantu mencari permata itu."
Detik kemudian, tamparan keras mendarat mulus di pipi Lars.
"Keterlaluan! Kami tidak pernah membutuhkan bantuan kalian," seru Dominic. Tangannya mengepal kuat karena emosi. "Kalian hanya remaja yang tidak tahu apa-apa! Kalian pikir, mencari permata ungu itu mudah? Risiko yang diambil cukup besar untuk misi ini."
Tiba-tiba, Dominic merebut buku catatan yang Alarice pegang. "Jangan ikut campur dengan hal ini lagi atau kalian tahu akibatnya."
Kemudian, lelaki itu merobek buku catatan Alarice dan membuangnya keluar rumah.
Hening tercipta setelahnya. Tidak ada yang berani berucap atau melakukan sesuatu. Keraguan muncul pada perasaan mereka berempat. Lantas, apa mereka masih akan melanjutkan misi berbahaya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Blood [COMPLETE]
VampireSuatu masa ketika klan vampir mulai tersisih dari muka bumi. Perang antara Klan Vampir dan manusia serigala beratus tahun lalu menyebabkan terciptanya sepuluh batu permata ungu dengan kekuatan spesial yang tersebar di seluruh wilayah eropa. Konon...