32. Setelah Itu Terjadi

8.8K 606 5
                                    

Kembali.

Naafi merasa déjà vu.

Duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan nafas memberat dan tubuh bergetar akibat menahan seluruh emosi yang memenuhi hati dan pikirannya. Rambutnya tidak rapi, berantakan sekali karena berulang kali ia acak guna menyalurkan rasa frustasinya, jas kantornya entah sudah dimana, dasinya sudah longgar dan miring, kemejanya kusut.

Dia bahkan mengabaikan Lidya yang duduk persis disampingnya. Entah siapa yang mengabari ibu mertuanya itu. Mungkin Zaki atau Candra. Yang pasti kini sang ibu mertua tengah mengusap punggungnya seolah mencoba meredam emosinya, menenangkan sang menantu.

Dokter Agnes keluar dari ruangan dimana istrinya tengah berbaring bak Putri Tidur, tetapi yang membedakan adalah selang infus di tangan wanita itu.

"Bagaimana keadaan Reva, Kak?" Tanya Naafi cepat, cowok itu kini sudah berdiri di samping Agnes.

"Dia baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia sedikit stres, banyak yang ia pikirkan akhir-akhir ini, mengingat dia masih dalam tahap pemulihan dan itu tidak baik untuk kesehatannya, kejadian tadi mungkin membuat dia sedikit shock." Jelas Agnes.
"Tidak usah cemas, dia bisa sadar dalam 24 jam ini. Tapi yang harus dikhawatirkan adalah tanganmu, Naafi."

Segera Naafi mengangkat tangannya dan dia bisa melihat darah dari telapak tangannya itu sudah mengering, sontak saja Lidya menarik tangan itu cepat dan memekik melihat luka yang terlihat cukup parah.

Agnes segera menyuruh pria itu mengikutinya ke ruangan dan segera mengobati luka itu. Sungguh Naafi sangat ceroboh, luka itu cukup parah dan dalam, jika dibiarkan lebih lama bisa infeksi. Beruntung Naafi memiliki daya tahan tubuh yang cukup baik hingga ketika dia kehilangan banyak darah, dia tidak pingsan atau bahkan memberikan efek yang lebih buruk.

Setelah memberikan ikatan pada luka dan membalutnya, Agnes memberikan vitamin penambah darah dan menyuruh Naafi tidur.

Tapi memang, seharusnya Agnes tahu jika Naafi memiliki darah Ramaditya yang memang terkenal keras kepala. Terbukti dengan bagaimana Naafi menolak dan malah memilih duduk di sisi ranjang Reva yang masih setia memejamkan mata.

Lidya memberikan ruang untuk Naafi dan putrinya itu. Dia berkata akan pulang untuk mengambil baju ganti Reva dan menawarkan apakah Naafi mau menginap disini atau tidak yang tentu saja akan dijawab dengan menginap disini.

Kini Naafi menggenggam tangan Reva, seperti biasa, ibu jarinya akan mengusap punggung tangan sang istri.

"Jangan bobo disini lagi. Gue nggak suka." Ujarnya seolah-olah Reva benar-benar akan mendengarnya.
"Cepat bangun agar kita bisa pulang. Kasihan Evan mainnya sama Mama dan Bunda doang. Anak kita pasti rindu sama lo."
Tangannya masih memegang tangan sang istri ketika kepalanya ia benamkan di atas genggaman tangan itu sambil berujar lirih.
"Gue kangen ama lo, Re. Jadi jangan lama-lama tidurnya."

Bersamaan dengan nafas Naafi yang mulai teratur, ada satu tetes cairan bening di sudut mata Reva yang mengalir.

●●●
Naafi terganggu dari tidur singkatnya ketika ia mendengar suara-suara berisik dari sekitar. Hal itu membuat ia nengerjap sebelum merenggangkan tubuhnya dan membuka mata.

Yang pertama tertangkap oleh netranya adalah Reva yang sudah sadar dan duduk bersandar di atas ranjang dengan Evan dipangkuannya. Lidya tidak ada disana begitu pun dengan Zaki, Wahid dan Dewa. Tiga pria dewasa itu pasti berada di perusahaan.

Sandra duduk sambil mengiris buah di kursi tempat ia duduk semalam, ada Nanda dan Naufal yang duduk di sofa yang ada disitu. Dania, Ajeng dan Bayu juga ada. Dimas tidak ada disana. Sedangkan dirinya sendiri, entah sejak kapan sudah berbaring di atas sofa yang memang dikhususkan untuk tempat tidur keluarga pasien dan berselimut.

"Papapapa!"

Seruan dari Evan yang menatapnya itu berhasil membuat Bayu yang tiada henti bercerita seketika diam. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada Naafi kini yang sukses membuat si bungsu Ramaditya berdehem, malu juga jika ditatap seperti itu.

"Sudah bangun?" Tanya Reva sambil tersenyum manis. Senyuman yang selama ini sudah hilang, hal yang sukses membuat Naafi tertegun sesaat sebelum berdehem mengangguk.

"Kamu sudah enakkan? Kepala nggak pusing?"

Reva terdiam mendengar pertanyaan Naafi, begitu pula dengan sang suami itu sendiri.

Tidak! Bukan!

Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya, juga bukan karena ia salah bertanya atau bagaimana. Itu wajar ditanyakan oleh seorang suami kepada sang istri yang tengah sakit.

Tapi karena panggilan itu. Kamu. Walau sudah beberapa bulan ini berstatus sebagai pasangan suami istri, juga sudah mengenal sedari mereka masih ngomong tatatatata khas bayi, tapi mereka tidak pernah menggunakan panggila aku-kamu satu sama lain. Jadi, wajah bila ini sedikit ehem terkesan tiba-tiba.

Reva tersadar ketika merasakan Evan menggigit jarinya, mungkin karena gusi anak itu yang terasa gatal akibat pertumbuhan gigi-giginya.

"Ahk! Jangan digigit tangan mama, Evan." Ujar Reva sambil melepaskan jari telunjuknya dimulut anak itu, menggantinya dengan teether yang diberikan Sandra.
"Aku sudah merasa lebih baik. Sebaiknya sana kamu basuh wajah dulu atau sekalian mandi. Itu Mama sudah bawain perlengkapan kamu."

Naafi berdehem sambil mengangguk, wajahnya memerah malu akibat Reva yang mengganti panggilan gue-elo mereka menjadi aku-kamu.

"Tangan Naafi luka, Re?" Tanya Ajeng yang memang memperhatikan telapak tangan Naafi yang diperban.

Reva terdiam, keningnya berkerut berusaha mengingat, seketika kilas balik kejadian ketika suaminya itu menahan pisau yang Ayu arahkan padanya terputar. Seketika itu juga ia memindahkan Evan untuk duduk di atas ranjang dan berlari ke arah kamar mandi dimana Naafi berada.

Tentu saja Naafi yang baru saja berniat membuka kausnya terhenti ketika mendengar bunyi ketukan pintu di kamar mandi. Si bungsu Ramaditya itu membuka pintu, mendapati raut wajah panik sang istri hingga ia bertanya.

"Ada apa? Kebelet pipis?"

Reva menggeleng, wajahnya meronda sambil merutuki tingkah gegabahnya. Dirinya bisa mendengar tawa laknat Bayu yang diomeli oleh Ajeng tapi tak mempan.

"Anu... itu..."

"Kenapa Re?"

"Tangan kamu bisa dipake? Eh maksudnya nggak apa-apa kena air? Aduh, itu kan berdarah."

Naafi menatap telapak tangannya yang memang belum sembuh. Yang sialnya luka itu berada di telaka tangan sebelah kanan dan dia bukan pengguna tangan kiri.

"Butuh bantuan?" Tawar Reva membuat Naafi terbelalak, tak menyangka dengan tawaran itu.

Kemudian dia tersenyum, mengangguk.
"Aku butuh seseorang untuk menuangkan pasta gigi di sikat gigiku dan orang untuk membasuh wajahku."

Reva tersenyum dan ikut masuk ke dalam kamar mandi. Dengan dirinya membuka kantong berisi perlengkapan mandi pribadi dirinya dan Naafi, kemudian ia mengambil pasta gigi dan menuangkannya di atas sikat gigi berwarna biru milik Naafi, memberikannya kepada sang suami dan dengan susah payah Naafi menggunakan tangan kirinya untuk menyikat gigi.

Setelah acara sikat gigi selesai, wajah suaminya itu Reva basuh dengan air dan mulai menuangkan sedikit gel dari sabun cuci muka yang biasa dipakai sang suami. Kemudian mulai meratakannya di wajah tampan Naafi hingga mulai berbusa, terakhir ia basuh wajah Naafi hingga bersih dan mengambik handuk kecil untuk mengeringkan wajahnya.

"Selesai."

Seru Reva membuag Naafi membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah istrinya yang tersenyum lebar.

"Akhirnya aku bisa melihat senyum itu lagi." Ucapn Naafi tanpa sadar.

Hal yang sukses membuat Reva terdiam, tak menyangka jika Naafi akan berujar demikian.

"Terima kasih, Re." Naafi menatapnya tulus.
"Terima kasih karena sudah kembali tersenyum."

■■■
Terima kasih, kalian.
Terima kasih sudah setia nunggu cerita ini.

Follow instagram Naya dong, usernamenya @nailaattaya

The Sweet Coincidence✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang