Bagi Naafi, kebahagiaan adalah ketika dia bertemu dengan Evan dan menikah dengan Reva. Sekali pun dia tidak pernah berpikir menyesal telah mengambil Evan malam itu, nyatanya setelah kedatangan bocah yang sudah berusia 9 bulan itu, hidupnya jadi jauh dari apa yang ia pikir datar-datar saja.
Hari ini tanggal 27 desember, satu minggu lalu Evan genap berusia 9 bulan dan beberapa hari lagi akan tahun baru. Ia ingin tahun baru yang pertama dengan keluarga kecilnya harus penuh dengan canda tawa. Tidak setelah apa yang mereka alami beberapa minggu lalu.
Setelah insiden di rooftop perusahaannya, Reva dirawat selama dua hari penuh di rumah sakit, syukurlah ketika hari ketiga istri cantiknya itu sudah bisa keluar ketika Agnes mengatakan tidak ada tanda-tanda trauma dan Reva baik-baik saja. Luka di telapak tangannya juga sudah sembuh dan tidak merepotkan Reva yang harus membantunya di kamar mandi lagi, oh tentu saja istrinya itu akan marah besar ketika tahu jika Naafi dengan segala keras kepalanya akan memaksa untuk mandi dan berakhir dengan Reva harus menelfon Agnes untuk sekedar memastikan luka di telapak tangan Naafi tidak kembali parah karena terkena air.
Naafi tersenyum mengingat itu. Sepertinya pulang dari kantor hari ini dia harus membelikan istri dan anaknya itu hadiah kecil. Ah, semacam hadiah akhir tahun mungkin? Lagi pula dua minggu kemarin istrinya itu pusing dengan UASnya. Bersyukur sekarang dia sudah mendapatkan libur semester dan bisa menghabiskan sepanjang hari di rumah. Walau Reva tetaplah Reva, karena cukup sering absen, dirinya khawatir tidak bisa mengisi ujian akhirnya dengan baik dan itu membuatnya harus sering begadang hanya untuk membaca jurnal dan buku. Tapi semua itu sepadan juga dengan hasil yang ia peroleh.
Naafi melirik jam tangannya dan masih ada sekitar satu jam sebelum jam pulang kantor, entah kenapa dia sudah tidak bisa bersabar untuk pulang. Rasanya dia ingin cepat-cepat bertemu istri dan anaknya yang tengah menunggu di rumah.
Atensinya ia arahkan pada beberapa lembar kertas yang ada di atas meja kerjanya, dirinya mulai menelurusi apa yang tengah tertulis disana, tapi pecah. Kembali ia melirik gusar jam tangan itu. Astaga, baru 4 menit dari ia melihatnya tadi.
Aish, jika sudah begini maka tentu dia tidak akan fokus.
"Candra!"
Si orang kepercayaan yang berusia 7 tahun diatasnya itu datang.
"Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Candra walau dalam hati berdoa tidak ada pekerjaan yang akan membuatnya tidak bisa tidur lagi.
"Aku akan pulang lebih awal." Naafi sudah berdiri dari posisi duduknya dan dia tengah memakai jas hitamnya.
"Urus sisa pekerjaanku dan kirim hasilnya lewat email sebelum pukul 9 malam nanti. Akan aku periksa. Jika ada yang butuh tanda tanganku, itu akan aku tanda tangani besok."Candra meneguk air liurnya susah payah.
"Baik, Tuan."Oh, seandainya saja pria yang ada dihadapannya ini bukan orang yang memberinya uang untuk makan, tentu saja dengan senang hati dia akan mengumpatinya dengan sumpah serapah yang ia ketahui. Tapi jelas itu tidak mungkin, karena dari uang orang ini dia sekarang sudah bisa membeli rumah sendiri dengan segala perabotan yang bisa dikatakan eum cukup menguras isi dompet yang tak sedikit.
Dan disinilah Naafi sekarang, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah mall yang beberapa bulan lalu berpindah tangan menjadi milik Ramaditya. Dirinya mulai menelusuri jejeran tas yang bukan sembarang tas, karena jelas satu buah saja bisa membuatmu membangun rumah mewah atau membeli beberapa mobil.
"Selamat datang,Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Si bungsu Ramaditya itu diam sebentar dan hanya mengangguk kecil sebagai balasan dari sapaan. Sesaat kemudian dia berujar.
"Berikan saya tas keluaran terbaru dan terbaik yang toko ini miliki, edisi terbatas, cocok untuk wanita berusia 20-21 tahun."
Langsung saja beberapa tas yang menurut toko ini miliki adalah tas yang terbaru, terbaik dan edisi terbatas, berjejer rapi di depan Naafi. Pria ini tidak paham fashion perempuan, dimatanya semua tas itu sama saja. Dirinya membayangkan istrinya menggunakan tas-tas itu dan cocok tentu saja. Maka yang selanjutnya ia katakan adalah
"Saya ambil semua tas itu."
Setelah membeli sekiranya 8 atau mungkin 9 atau lebih, entah, Naafi tak menghitungnya dengan baik, tas yang ada di salah satu toko di mall ini, dirinya mulai menelusuri bagian perlengkapan bayi. Evan sudah memiliki banyak robot-robotan, mobil-mobilan, balok-balok, oh jangan lupakan juga pesawat yang pernah Naafi dan Reva beli bersama. Belum lagi mainan yang dibeli oleh Sandra Lidya, Dewa dan Wahid yang tentu saja jumlahnya bertambah setiap hari. Hal yang berhasil membuat kamar tidur Evan lebih mirip toko mainan kata Reva.
Tapi Naafi tetaplah Naafi, orang yang menobatkan dirinya sebagai Ayah dari Evan itu mulai menelusuri bagian yang menjejerkan mainan-mainan khas anak-anak, hingga mata Naafi berhenti di bagian boneka-boneka. Evan sudah punya boneka beruang, dua milik anak itu, yang sangat besar bahkan tingginya melebihi tinggi Evan sendiri berwarna coklat muda dan satunya yang tingginya mirip tinggi Evan dan menjadi mainan favorite anak itu berwarna putih. Evan juga punya boneka-boneka lain yang sebagiannya lebih ke karakter animasi, ada si kembar Upin-Ipin, ada pula beberapa karakter dalam anime Naruto, dan karakter kartun lain. Ada juga boneka yang bertemakan hewan.
Dari sekian banyak boneka yang Evan miliki, anaknya itu belum memiliki boneka domba dan itu membuat Naafi berniat membeli beberapa boneka domba putih yang akan menambah daftar boneka Evan di rumah.
Disinilah dia sekarang, dengan dibantu Pak Udin dan Bi Ela, pria itu masuk ke dalam rumah yang membuat Reva dan Evan yang bermain di ruang tengah menoleh, mendapati banyaknya tas belanjaan yang sudah berjejer rapi di sofa ruang tamu dan ada beberapa yang berdiri di lantai. Hal yang membuat Reva melotot kaget sedangkan Evan bertepuk tangan senang.
"Papapa!"
"Papa punya mainan baru buat Evan!" Seru Naafi membuat Reva makin kesal.
"Mainan Evan sudah cukup banyak, Apin!" Protes sang istri yang bahkan tak ditanggapi oleh Naafi.
Evan mulai merangkak ke arah Naafi yang disambut antusias oleh sang Ayah. Suami dari Revana itu merendahkan tubuhnya dan duduk di atas sofa sambil mendudukkan Evan dipangkuannya. Diambilnya satu boneka domba putih dan diberikan kepada Evan yang kembali pertepuk tangan senang sambil tertawa keras. Senang mendapatkan mainan baru.
Reva sendiri mulai mengecek isi belanjaan lain yang membuatnya mendengus, tentu saja tahu jika sang suami baru saja menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan saat ini.
"Kamu borong tas ini untuk apa?"
"Untuk kamu tentu saja." Jawab Naafi tanpa beban, sibuk membuat Evan tertawa.
"Tasku kan masih banyak yang bagus, Apin." Protesnya lagi.
"Kan bisa kamu simpan, siapa tahu nemu baju yang warnanya cocok untuk tas itu. Jadi nggak bingung buat pakai tas yang mana."
"Apin..."
Naafi melihat Reva dengan senyum dibibirnya.
"Uangku tak akan habis hanyak untuk membeli kamu tas. Lagi pula aku kerja cari uang kan untuk kamu dan Evan juga. Sekali-kali manjain istri kan tidak masalah."Dan kembali, Reva diam karena apa yang dikatakan Naafi tidak salah.
■■■
Nayaa nggak update kemarin. Jadi sebagai bentuk permintaan maaf, Naya double update dan satu part spesial Instagram Update lagi!!!Follow instagram Naya dong, usernamenya @nailaattaya
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweet Coincidence✓
Fiksi PenggemarCover by : @jelyjeara ------ Naafi adalah mahasiswa semester 7 yang sebentar lagi akan menjemput gelar sarjananya. Tapi selama 21 tahun hidupnya, ia tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang gadis yang membuat sang Mama khawatir akan mas...