28. Ketika Reva Sadar

8.7K 611 5
                                    

Naafi berlari seperti orang gila ketika dia mendapati satu pesan dari dokter Agnes yang merawat istrinya itu jika sang wanita pujaannya sudah sadar. Sedikit mengutuk kepada dosen yang terus saja berbicara menyebalkan untuk skripsinya ini sehingga ia harus pulang terlambat.

Sebelum dia masuk di ruangan sang istri, Lidya membuka pintu dan sedikit terkejut melihat menantunya yang sudah sampai. Ada satu tetes air mata yang keluar dari mata sang Bunda.

"E-eh, Bun?"

Lidya berusaha tersenyum yang jatuhnya malah senyum penuh kesedihan.
"Naf... Eum, Reva sudah sadar."

"Ada apa?" Tanya Naafi khawatir.

Lidya meneteskan air mata yang membuat gemuruh hebat di dada Naafi datang.
"Bunda sudah bilang ke Reva."

Dan satu kalimat itu membuat Naafi menghela nafas panjang. Kekhawatiran yang selama ini dia coba tepis kembali datang. Entah apa yang akan ia katakan jika istrinya itu bertanya padanya.

Netranya menangkap sosok Reva yang duduk sambil menatap ke luar jendela. Raut wajahnya tanpa ekspresi yang membuat Naafi menjadi gugup tanpa bisa ia kendalikan. Dirinya berusaha menebak apa yang ada di pikiran sang istri yang sayangnya belum bisa ia dapat jawabannya.

Naafi duduk di sisi lain ranjang.
"Re..."

Panggilan itu tak ada jawaban, hal itu membuat tangan Naafi terulur menggenggam tangan istrinya. Ibu jari pria itu mengusap pelan punggung tangan sang istri yang berhasil menjatuhkan satu tetes air mata di wajah cantik sang wanita.

"Gu-e nggak tahu, Pin." Ujar Reva membuat Naafi terdiam.
"Gue nggak pernah tahu dia ada, Pin."

Air mata Reva makin deras membuat Naafi segera mendekat dan memeluknya. Hal yang sangat Naafi benci adalah melihat Reva menangis, berusaha keras dia agar tidak membuat sang istri menangis, tapi nyatanya sekarang wanita itu menangis.

"Sayang...."

"Gue bahkan nggak tahu dia ada padahal dia udah ngirim tanda ke gue. Sekarang.... Sekarang kita bahkan... Pin, kita kehilangan dia." Reva masih menangis keras dan itu membuat Naafi menutup matanya sambil menenangkan wanita itu.

"Ini takdir Tuhan, Re. Ini bagian dari rencana-Nya." Naafi berusaha untuk bisa menenangkannya.
"Jangan menangis lagi, hm? Tuhan punya rencana yang lebih indah."

Reva menggeleng keras sambil melepaskan pelukannya dan Naafi mengutuk ketika dirinya melihat mata merah dengan wajah basah karena air mata yang kini menghiasi wajah cantik sang istri.

"Ini salah gue. Gue yang salah! Harusnya gue nggak ladeni wanita itu. Harusnya gue nggak emosi saat itu. Pin, maafin gue. Seandainya aja gue nggak kesinggung, pasti dia... Pin, gue nggak bisa jadi istri yang baik buat lo. Apin, itu anak pertama kita. Tapi Pin, gue... Seandainya saja----"

Naafi segera menarik kembali Reva dalam pelukannya yang membuat ucapan-ucapan yang sangat tidak ingin Naafi dengar teredam dengan tangisan Reva. Demi Tuhan! Naafi sangat tidak ingin mendengar penyesalan-penyesalan yang bahkan tidak pernah terbesit dalam benak pria itu. Reva terluka dan sialnya wanita itu malah menyalahkan dirinya sendiri. Hal yang sangat Naafi tidak suka.

"Berhenti nyalahin diri lo sendiri. Ini tentang takdir dan lo nggak berhak buat merasa bersalah atas apa yang terjadi." Suara Naafi sedikit meninggi, namun sedetik kemudian dia merutuki dirinya yang hampir saja lepas kendali.
"Jangan menyalahkan diri sendiri lagi, hm? Lo lupa jika kita punya Evan? Dia nangis nyariin mamanya." Naafi mendaratkan satu kecupan di puncak kepala Reva.
"Ini takdir Tuhan. Mungkin memang belum saatnya, lo disuru fokus dulu untuk jaga Evannya dan kita juga harus segera selesaiin kuliah. Semuanya Re, semuanya akan indah pada waktunya."

"Maaf..."

Naafi tersenyum kecil, merasa tenang ketika ia merasakan getaran dari tubuh Reva sudah sedikit mereda. Meninggalkan isakan kecil yang sudah tidak sehebat tadi.

"Untuk apa minta maaf? Lo nggak salah." Ujarnya membuat Reva sedikit merengek.
"Jangan sakit lagi, hm? Lo harus cepat sembuh. Gue nggak suka aroma obat-obatan ini dan Evan pun sedih karena mamanya belum bisa bermain dengannya lagi."

Reva mengangguk sambil makin mengeratkan pelukannya di tubuh sang suami. Dalam hati dia sangat menyesal akan kecerobohan yang sudah ia lakukan. Padahal mereka sudah memiliki anak, padahal Evan akan punya adik. Tapi karena emosinya yang tersentil akibat ucapan-ucapan menyebalkan dari mulut si penggoda itu, dia harus kehilangan anaknya yang bahkan tidak ia ketahui sudah berada dirahimnya.

"Apin..."

"Ya sayang?"

"Ayu."

Satu nama itu yang membuat Naafi menutup mata sambil berusaha untuk tidak emosi. Dirinya diam menunggu kalimat selanjutnya dari sang istri.

"Dia harus merasakan sakit karena kehilangan." Ucapan penuh dendam dari Reva membuat Naafi tertegun beberapa saat.
"Dia yang dorong gue hingga perut gue ketabrak meja. Dia yang buat kita kehilangan anak kita, Apin."

"Re..."

Reva memundurkan dirinya dan satu hal yang Naafi takutkan, sorot mata Reva berubah penuh dendam. Amarah dan luka terlihat jelas dari sorot mata itu.

"Gue nggak bakal jadi cewek bodoh yang baik hati lagi. Dia harus ngerasain gimana sakitnya gue kehilangan anak yang bahkan belum gue ketahui keberadannya."

Naafi menutup mata, tangannya terangkat mengusap rambut legam milik istrinya, berusaha meredam amarah Reva. Sedikit takut jika hal ini bisa membuat ia kehilangan jati diri Reva yang sesungguhnya. Revanya bukan wanita pendendam yang bakal ngelakuin hal bodoh, bukan?

"Lo harus sembuh dulu."

Dan hanya itu yang bisa Naafi katakan untuk bisa membuat Reva tidak memikirkan hal gila yang malah membuat dirinya terluka. Dalam hati dia berdoa agar istrinya tidak akan melakukan hal ceroboh.

■■■
Reva udah sadar.
Jangan lupa vote dan komennya ya guys. Dan tunggu gimana kelanjutan kisah mereka.

Follow instagram Naya dong, usernamenya @nailaattaya

The Sweet Coincidence✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang