chapter 33

8.9K 890 56
                                    

"Gib, gue pulang ya? Ntar kalau butuh sesuatu panggil Bik Nis." Seru Aldo, setelah dari klinik lelaki itu mengantar Gibran sampai ruang tamu apartemen lelaki itu.

"Thanks, udah mau gue susahin." Aldo mendengus geli, "Ya kali gue tinggal lo bonyok depan sekolan, ya yang jelekkan nama sekolah gue."
"Gue balik." Pamit Aldo, namun niatnya batal, kedatangan Dira mampu membuat Aldo membatu.

"Kamu Gila Gibran!"
"Gara-gara kamu Candra pergi!"
"Mau kamu apa?!"
"Kalau mau ketemu sama anak-anak ngomong dulu! Jangan gini caranya!" Napas Aldo tercekat di tenggorokannya, wajah sepupunya memerah padam, matanya metotot menatap Gibran, bahkan wanita itu tidak menyadari berdiri disana.

"Di-ra---" Suara Gibran terbata, bibirnya masih terasa perih.

"Udah Tua juga, masa nggak tau cara deketin anak kecil sih." Gerutu Dira. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, "Kalau mau rujuk, bilang baik-baik. Gengsi kok di agung-agung kan." Aldo terkekeh pelan, Dira tidak akan pernah berubah, dia masih suka bicara ceplas ceplos.

"Eh Do, lo bisa keluar nggak? Gue mau bicara empat mata sama mantan gue." Seru Dira.

"Iya, gue mau pulang. Gue pamit." Dira menganggukkan kepalanya. Keheningan kembali terjadi, suara helan napas Dira terdengar begitu keras.

"Wih, sampai bonyok gini." Dira mengubah posisi tubuhnya, tanganya terulur ke wajah Gibran.

"Enakkan panggil kakak atau mas?" Dahi Gibran mengerut, kemana amarah Dira pergi? Kenapa wanita yang telah melahirkan tiga orang anaknya itu bisa berubah seketika.

"Terserah kamu aja." Dira mengerucutkan bibirnya, membuat Gibran menahan gejolak di dalam dadanya. "Panggil Mas aja ya, biar kayak dagang bakso." Kekeh Dira bersemangat.

"Kata kamu Candra pergi? Anak itu kemana?"

"Semua gara-gara mas Gibran, Candra itu berbeda sama Aita, anak gadis kamu pasti seneng banget kalau ketemu mas, dia pengen punya adik lagi." Seru Dira, Gibran tersenyum kecil, wanita itu tidak mengetahui kalau dia dan Aita sudah sering bertemu.

"Mau mas sebenernya apasih?" Tanya Dira, dia merubah posisi duduknya. Menatap Gibran lekat.

Wajah Gibran memerah, baru di tatap segitu aja dia sudah deg-degan. Inget umur Gib! "Wajah mas Gib,kok merah? Apa salah obat ya?" Gibran dapat merasakan hembusan napas wanita itu, jemari wanita itu membelai wajahnya. "Pasti sakit ya?" Padangan mata mereka bertabrakan, napas Dira tercekat di tenggorakan. Jantung berdebar tak karuan, rasa yang aneh menyeruak kembali.

Tersadar Dira kembali ke posisi duduknya. Menatap lurus foto Gibran dengan Bagas. "Ayo kita cari Candra," seru Gibran memecahkan suasana.

"Mas nggak usah ikut, aku cuma mau bilang, mas jangan dulu temui Candra, anak itu tambah benci sama Mas Gib," jawab Dira, wanita itu dapat melihat raut muka kecewa dan sedih lelaki di hadapanya.

Tubuh Gibran menegang saat tangan Dira menggenggam tanganya. "Kalau memang Mas Gib ingin rujuk, buktikan kalau mas nggak akan pernah membuat anak-anak kecewa lagi, bagi Dira kalau anak-anak bisa nerima Mas Gib, Dira bakalan pertimbangakan untuk rujuk." Mata Gibran terbuka sempurna, perkataan Dira memacu  semangatnya.

"A-ku janji." Dira menggeleng pelan, "Dira nggak butuh janji mas, Dira cuma butuh pembuktian Mas Gib, buktikan mas Gib pantas menjadi ayah bagi triplets."

"Dira pulang dulu," pamit Dira, sebelum wanita itu pergi, Dira mengucup pelan pipi Gibran, "makin tua, mas makin ganteng." Bisik Dira lalu pergi tanpa melihat Gibran lagi.

Tubuh Gibran membeku, tanganya mengusap pelan pipinya, kecupan Dira terasa seperti mimpi. Mungkin ini yang di namakan kesempatan kedua, tentunya Gibran tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Dira berikan.

...

"Lo, kenapa sih Can?" Bagas melirik adiknya itu yang sedang lahap memakan bakso. Mereka berdua sedang bersembunyi dari amukan Aita.
Kakaknya itu sangat marah pada Candra, Aita tidak terima papa kesayanganya itu di pukul Candra.

"Kenapa apanya?" Bagas berdecak sebal, lalu melanjutkan memakan baksonya. "Lo yang bayar ya? Gue nggak bawa duit." Bagas memutar bola matanya. Mereka pergi dari rumah tanpa membawa apapun, untungnya disaku celana Bagas ada uang seratus ribu.

"Untung uang mama belum gue kembaliin," seru Bagas.

"Gas Lo pulang aja, gue males pulang."

"Yaelah Can, gue ikut lo deh, yang ada kalau gue pulang, gue yang diamuk banteng." Candra tertawa terbahak begitu pula Bagas.

"Enak banget ya, Ai nggak makan dari tadi siang, kalian enak-enakan makan bakso disini, dasar adik durhaka." Tawa Candra dan Bagas terhenti keduanya saling melemparkan tatapan.

"itu suara Aita--" bisik Candra, dia masih marah sama Aita, lebih baik Bagas yang menghadapi singa betina itu.
Bagas menahan napasnya, lalu menoleh kearah belakang, remaja itu tersenyum lebar menatap kakak kembarnya, Aita berdiri disana dengan angkuh, tangan telipat di dada, tatapan matanya tajam, siap menusuk tubuh Bagas.

"Ehh Ai, mau makan bakso? Kita udah selesai kok." Tangan Bagas menarik-narik kaos Candra, membuat adiknya itu tersedak kuah bakso panas tentunya pedas.

Candra terbatuk-batuk, lalu meminum es jeruknya hingga tandas. "Sialan, lo mau bunuh gue? Gila hidung gue panas nih."

"Lo udah selesai kan? Yuk pulang." Candra menaikan sebelah alisnya, lalu menganggukan kepalanya pasrah.

"Kalian nggak boleh pulang! Nggak sopan banget jadi adik, udah gue ditinggalin masa lo sekarang mau cabut lagi, Duduk!" Mau tak mau Bagas dan Candra kembali duduk, mereka menatap Aita yang sudah mendudukan diri di sebrang meja.

"Bayarin gue bakso, atau nggak lo bakan bonyok sama kayak papa!" Aita menatap tajam Candra dan Bagas bergantian.

"Gue nggak bawa duit Ai," seru Candra.
"Bang gue nambah--" kedua alis Aita menyatu ketengah. "Katanya lo nggak bawa duit, kok lo nambah sih."

"Gue emang duit, tapi Bagas bawa, kalau lo mau makan bakso pesen aja jangan kayak orang susah gitu." Raut wajah Aita berubah masam, lalu menatap Bagas .

"Gue cuma bawa seratus, jangan pesena banyak-banyak Ai." Aita bertepuk tangan, "Bilang dari tadi kek, cacing gue udah pada protes di dalam perut."

"Inget jangan banyak-banyak, gue nggak mau nyuci mangkok kalau kita nggak bisa bayar." Aita mengajung ibu jarinya.

"Bisa di atur itu--"

Setengah jam berlalu, "Gue kan udah bilang Ai, jangan makan bakso banyak-banyak, nih liat kita kekurangan uang kan." Bagas menggerutu.

"Bacot lo Gas, cepetin nyuci tuh mangkok, lo sih bawa uang cuma seratus ribu." Bagas mengdekus kesal, Aita memang tidak tahu diri, padahal diawal tadi dia sudah mewanti-wanti Aita, kalau dia punya bawa uang sedikit, tanpa tahu malu Aita malah nambah sampai lima kali, dan berakhir lah mereka harus cuci piring.

"Can-can lama kali, jangan-jangan dia kabur Gas?" Seru Aita, gadis itu segera berdiri, mengibaskan tanganya yang penuh busa sabun cuci piring.

"Aita! Mata gue kena busa! Perih!"
"Lebay lo Gas, sini gue lap!" Aita melepaskan jaketnya, lalu mengelap wajah Bagas dengan jaketnya.

"Gue balik ya Gas, ya kali nunggu Candra, tuh anak pasti kabur takut gue marahin."

"Lo mau tinggalin gue? Lo kok gitu, yang makan banyak kan Ai," protes Bagas, curang sekali Aita, dan Candra adiknya itu belum kembali juga dari rumah mengambil uang untuk membayar bakso mereka.

"Siapa suruh kabur, capek tau cari kalian tadi, udah sore juga, gue balik! Kalau kabur bawa uang banyak Gas," ujar Aita, lalu pergi meninggalkan Bagas begitu saja.

Bagas menghela napas panjang, dia menatap punggung Aita, memang hari ini adalah hari tersial untuknya, ya mau gimana lagi ikhlaskan dan bersyukur saja.

TBC...

Muncul lagi nih, semoga kalian nggak lupa alurnya 😅 maafkan aku✌

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang