Chapter 46

782 147 9
                                    

Mobil Porsche itu melaju di jalan sepi,  dari pemandangan pemungkiman padat kini perlahan berubah menjadi perkebukan, bahkan di depan sana, pohon-pohon tinggi mulai terlihat, Bagas menatap ke arah luar jendelan, orang-orang penduduk sekitar baru saja pulang dari mencari rumput, sekali lagi Bagas mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan sinyal SOS.

Ia harus berhati-hati, si ketua preman nampak menaruh curiga kepadanya, namun tadi Bagas sudah sempat menyuruh Yanto dan Septo tutup mulut, kedua lelaki itu nampak senang ia sogok dengan masing-masih sepuluh bungkus rokok, tadi sebelum sempat menjauh dari pemukiman penduduk, Bagas dan Septo turun lagi membeli beberapa peralatan memasak, kompor, tabung gas, beras, lauk pauk, senter, tikar dan beberapa perabot yang mungkin akan berguna dan juga pakaian untuknya dan saudaranya, kata om Septo disana tidak apa-apa, bahkan preman-preman ini tidak di bekali uang dan makanan, hal ini memudahkan Bagas untuk membuat penculiknya menghianati sang bos.

"Lo dapet duit dari mana sih?" Tanya Toto, si ketua. "Diakan tinggal sama bokap dari kecil, uangnya dia lebih banyakan dia om." Saut Candra, tentu saja Bagas membawa kartu ATMnya, berisi uang yang Zinnia kirimkan setiap bulannya, untuk masalah uang jajan dari Gibran, kartunya tertinggal di apartemen papanya.

"Lo mau duit nggak om? Ntar gue bisikin bisnis yang bagus." Ucap Bagas sambil menyeringai.

"Lo bisa bayar gue berapa sih bocil, ada-ada aja Lo." Toto tertawa di ikuti Yanto dan Septo. Candra menatap Bagas, mencoba mencari maksud pertanyaan kembarannya itu. Namun hal itu sia-sia Bagas malah memilih tidur.

Mobil yang dikendarai Yanto mulai memasuki hutan, jalanan yang tadinya aspal kini berganti dengan tanah dan bebatuan kecil.

"Stop, puter balik To, gubuknya di sebelah kiri tadi," ucap Toto, jalanan di depan sana sudah habis, berganti dengan jalan kecil yang hanya bisa di lalui sepeda motor, setelah mengikuti instruksi Toto, akhirnya mereka tiba di tempat penyekapan.

Dari depan tempat itu nampak buruk dan seram, namun banyak bekas ban mobil menandakan sering kalinya ada orang-orang datang ke tempat ini, suara gemericik air terdengar, Candra melirik sebelah barat gubuk, ternyata ada aliran anak sungai, terlihat jernih, sinar matahari masuk dari sela-sela pohon, "Om ini tempatnya?" Tanya Candra, "yup disini bakalan kalian tinggal sampai bos gue nyuruh kalian buat dibunuh." Ucap Toto dengan bangganya.

Candra bergidik ngeri, benarkah dia akan dibunuh, hal itu membuat Candra takut, ia belum berbaikan dengan Gibran.

"Can, bantu bawa ini dulu." Kalau di suruh milih Candra memilih Septo, ia sangat baik, suaranya terdengar garang, tapi hanya dibuat-buat orangnya ternyata ramah.

"Ini daun apa om?" Tanya Candra saat baru masuk ke dalam gubuknya, di depan emang terlihat seperti gubuk, tapi di dalamnya masih cukup terawat, ada dua ruangannya, Toto memilih masuk ke dalam ruangnya tersebut.

"Ganja," ucap Septo santai, hal itu malah membuat Candra terdiam.

"Yanto, Lo nyapu dulu gih, gue mau pasang ini kompor."

"Kalian cari sisa batoko di luar, pake tempat naruh kompornya." 

"Baik om," saut Bagas dan Candra, kedua pergi, meninggalkan Septo dan Yanto, "Aita, jangan tidur, noh buka bersihin dulu itu bawang," ucap Septo, bibir Aita mengerucut, tidak di rumah, tidak di tempat penculikan tugasnya masih sama mengupas kulit bawang.

...

"Untung Lo bawa duit lebih ya, jadi gue bisa main game" ucap Yanto senang, yup tadi Bagas sempat membeli tv 21 inc dan PlayStation bekas, setidak mereka ada hiburan, Toto tidak keluar semenjak habis makan, kata Om Septo, tempat ini adalah tempat penampungan ganja, yang di tanaman Zio di tengah hutan, kamar yang di tempati Toto adalah ruangan yang digunakan transaksi oleh Zio, katanya di sana ada ranjang, sedangkan diluar tempat mereka sekarang digunakan untuk tempat penyimpanan ganja sehabis panen.

"Pinter juga Lo masak," ucap Septo kepada Candra, "Tentu bang, diajarin mama, kakak gue yang ini cuma tau makan aja." Jawab Candra sambil memeluk Aita.

"Pantesan tadi disuruh ngupas bawang, dia manyun." Ruangan itu dipenuhi tawa, "Om ini listrik dari mana?" Tanya Candra, ia berpikir bangunan ini tidak ada listriknya, makanya ia sempat protes saat Bagas membeli TV.

"Ada dari pemukiman penduduk, nanti jam 9 malem bakalan di putusin, tadikan gue udah nyuruh Bagas beli  senter."

"Yok main Remi, gue udah siapin lipstik, siapa yang kalah bakalan kena ini lipstik." Aita mengeluarkan lipstik yang tadi ia beli, membuat kedua preman itu tertawa mengejeknya, "bocah mana mungkin Lo bisa menang, dia nggak tau gue siapa Sap," ucap Yanto dengan jumawa, "ihh awas gue menang ya om, Lo harus nurutin perintah gue." Tantang Aita, Yanto menganggukan kepala, Candra dan Bagas saling melirik, Aita bukannya jago, tapi ia jago untuk memanipulasi permainan.

Permainan terlihat menegangkan, Candra dan Bagas cuma kalah dua kali, Aita malah dengan tega mencoret wajahnya dengan lipstik.

"Yeeh gue menang om, muka lo udah cemong!" Teriak Aita bergembira, Septo mencoba menawan tawa, ia tidak ingin Yanto malu, tadi jumawa ingin melawan Aita, tapi kini malah ia kalah.

" Gue mandi dulu ya bang, udah gerah nih." Bagas bergegas mengambil peralatan mandi dan handuk, serta baju baru. "Okey, nanti kalian giliran aja mandi. noh itu buat juga dia tempat mandi,"ucap Septo melirik Aita, tentunya hanya dia perempuan disini.

"Sip Om, gue pergi dulu." Bagas segera pergi, untung kamar yang Toto di tinggali berada di sebelah timur, jadi ia bisa mengirim sinyal sos lagi, tadi sempat juga ia merekam kegiatan main kartu Remi tadi, saatnya ia mengirim ke Paman Aldo, untungnya ada sedikit sinyal data seluler.

..

"Mereka udah Lo siksa?" Pertanyaan Zio membuat Toto gelagapan, mereka baru saja selesai makan malam, sungguh masakan anak-anak itu bahkan lebih enak dari masakan istrinya, "udah Bos, Lo mau denger gue Siska mereka? Kalau videon nggak bisa, kan udah gelap." Toto menjauhkan ponselnya, bibirnya berucap tanpa suara, 'pura-pura'

"Aduh ampun om! Punggung gue sakit!" Teriak Bagas seolah kesakitan, mengikuti instruksi dari Toto, padahal kenyaaanya dia malah asik memakan buah.

"Om berehenti, wajah gue udah kaku, sakit nih,"Candra mengikuti, setelahnya ia asik makan mie kuah yang ia buat. suara tamparan terdengar, "Sakit om, pipi gue perih! Please  berhenti,om bibir gue udah berdarah." Aita menimpali.

"Diem Lo bocah, untung cuma gue pukul, gimana balok itu gue pake!" Septo berteriak, padahal ia masih asik main PS dengan Yanto, ini masih jam 8 malem, listrik masih ada, belum diputusin.

"Udahkan bos, anak-anak itu udah babak belur," ucap Toto, tanganya gatal ingin bermain PS lagi, Zio sangat tidak tepat waktu untuk menelepon.

"Udah jangan siksa mereka, jangan di kasi makan!" Teriak Zio, membuat Toto menjauhkan ponselnya, "mereka udah kelaperan bos, bisa tentang aja." Zio malah dengan tega memutuskan sambungan ponselnya.

"Dasar orang kaya, baru punya uang sesuka hati bertindak!" Toto menghempaskan tubuhnya, "Lo yakin bakalan di bayar Om?" Tanya Bagas sambil terkikik.

"Pastilah," ucap Toto yakin.

"Yakin banget sih, gue bisa bayar lebih kok, tapi ada sesuatu yang harus kalian lakuin."

Toto melirik Septo dan Yanto, kedua temannya itu malah terlihat asik bermain, sambil mengangguk-angguk kepalanya, "kalian setuju?" Tanya Toto, Septo dan Yanto menatap sekilas ketuanya, lalu menganggukan kepala, kembali lanjut ke dalam permainan.

"Gue setuju, apa rencana Lo!" Bagas menyeringai, "ponsel gue mana? Biar Paman gue yang bicara."

TBC...

Florist ABC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang